Diskriminasi Pelayanan, Matinya Fungsi Riayah Negara
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
“Saya
menganggap diskriminasi tersebut justru akan membuat orang-orang kaya akan
kembali menggunakan kendaraan pribadi dan malah berpotensi menyebabkan
kemacetan,” kata Suryadi Jaya Purnama, anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKS
(republika.co.id, 1/1/2023). Kritikan Suryadi disampaikan setelah muncul
rencana pemerintah menaikkan tarif KRL Commuter Line untuk penumpang kaya pada
tahun ini. Kebijakan yang akan dikeluarkan Menteri Perhubungan, Budi Karya
Sumadi itu dinilai akan membuat orang-orang beralih kembali memakai kendaraan
pribadi sebab sejatinya transportasi massal itu ditujukan untuk semua kalangan,
baik kaya maupun miskin.
Suryadi
menilai, subsidi Rp 3,2 triliun untuk pengguna kereta api pada 2022 oleh
Kemenhub terbilang masih sangat minim. Secara teknis, ia melihat, KRL Commuter
Line masih mengalami overload, terutama pada jam-jam sibuk dan pengguna KRL
belum bisa merasakan kenyamanan sepenuhnya. Tahun ini, ia meminta subsidi untuk
transportasi massal diperbesar.
Dari wacana pembedaan tarif atau yang oleh pemerintah disebut penyesuaian sistem pembayaran KRL untuk penumpang kaya, pemerintah akan menerbitkan kartu baru untuk membedakan profil penumpang. Dengan terbitnya kartu ini, penumpang kategori mampu tidak ikut menikmati subsidi karena tarif asli KRL saat ini di atas Rp 10 ribu. Faktanya, pengguna moda transportasi umum adalah rakyat dengan penghasilan menengah ke bawah, namun masih saja menggunakan istilah salah subsidi atau subsidi tidak tepat sasaran. Pertanyaannya, masihkan relevan istilah itu di tahun ini? Dan kalau boleh dikata, inilah kado pergantian tahun yang teramat pahit sebab rakyat belum mengalami perubahan nasib menjadi lebih baik.
Kapitalisme Hanya Hitung
Untung Rugi, Bukan Pelayanan Umat
Kebijakan
nyeleneh ini sangat ditentang oleh masyarakat, tarif dibuat berdasarkan jarak
jauh dekat bukan penghasilan, sungguh semakin menunjukkan ketidakpahaman negara
tentang fungsi fasilitas publik, baik secara peruntukkan maupun pembiayaan.
Kesejahteraan yang seharusnya diwujudkan totalitas, tak peduli kaya miskin
seolah menjadi sarana untuk mempersulit rakyat.
Sistem
kapitalisme hanya berorientasi pada materi, sehingga penguasa mengatur urusan
negaranya sebagaimana mengatur perusahaan yaitu setiap kebijakan akan diukur
berdasarkan untung dan rugi. Masyarakat pun harus membayar jika ingin
menggunakan fasilitas publik, padahal pajak pembangunan infrastruktur dan
pengadaan moda transportasinya tetap ditarik dari rakyat berapapun penghasilan
rakyat. Jika telat kena pinalti atau denda. Belum lagi dengan jenis pajak yang
lain dan juga mahalnya biaya hidup karena kebutuhan publik lainnya seperti air
dan listrik tidak gratis untuk rakyat. Berulang kali rakyat disuguhi narasi
APBN terlalu terbebani oleh pembiayaan rakyat.
Bisa dikatakan
rakyat menjadi obyek penderita. Pemerasan negara kepada rakyat berlangsung pada
aspek apapun. Pun ketika negara menambah utang yang katanya untuk pembangunan
pun rakyatlah yang harus bayar, pokok berikut ribanya. Kapan terwujud
kesejahteraan bagi rakyat, jika kantong tak pernah terisi bahkan nasib masih
disangsikan mampu bertahan. Padahal jika kita teliti lebih mendalam, penambahan
utang yang dilakukan pemerintah justru makin menenggelamkan dalam kondisi tak
berdaya, tak berdaulat di atas kaki sendiri. Setiap kebijakan negara akan
diawasi dan bahkan didikte oleh pemberi utang, asing.
Marafiq Amm ( Fasilitas
Umum) Penyediaannya Kewajiban Negara
Berbeda dengan
Islam. Pelayanan kebutuhan publik ada pada pundak negara. Ibnu Majah telah
meriwayatkan dari Abu Qatadah dan al-Khathib, dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibn Majah). Pelayanan
publik, dalam hal ini transportasi diselenggarakan dalam rangka membantu
masyarakat lebih mudah dalam beraktifitas, entah itu bekerja atau belajar.
Jelas membutuhkan biaya dan kecanggihan teknologi agar terwujud kemudahan dan
kenyamanan, untuk itu negara yang wajib mengadakannya.
Pendanaan di
dapat dari kas Baitul Mal, dari pos kepemilikan negara dan umum. Bukan dari
pajak apalagi utang kepada asing, maka, negara bisa leluasa membangun pelayanan
publik apapun. Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Abdul Hamid II membangun
jalur kereta api antara Hijaz , Damaskus, Amman hingga Madinah, yang dikenal
dengan nama Hijaz Railway dengan tujuan untuk mempermudah perjalanan para
jamaah haji. Semua dibangun secara mandiri dari Baitul mal.
Fasilitas
publik itu diadakan untuk rakyat secara gratis, kalaulah rakyat harus membayar
tidak akan mahal dan dibedakan, dan dana itupun masuk ke Baitul Mal untuk dikembalikan
lagi kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan publik yang lain, seperti
misalnya sekolah, lapangan olahraga, rumah sakit, jalan dan lainnya. Prinsipnya
adalah untuk mempermudah masyarakat beraktifitas.
Penataan ini
hanya ada dalam sistem Islam, bukan yang lain. Maka, mengupayakan kembali
tegaknya syariat untuk mendapatkan kesejahteraan hakiki bukanlah sekadar
mengulang sejarah semata, melainkan kewajiban kaum Muslim sebagaimana firman
Allah SWT,”Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini
(agamanya)?” ( QS Al-Maidah:50). Wallahu a’lam bishshowab.
Post a Comment