Kontroversi Pidato Erdogan: "Ketakutan" atau Dukungan pada Palestina?
IndonesiaNeo.com --- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berkomitmen pada Selasa (25-7-2023) untuk terus mendukung perjuangan Palestina dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Palestina.
"Dengan sangat prihatin, kami menyaksikan kekerasan oleh pemukim ilegal," ujar Erdogan dalam konferensi pers di Ankara seperti yang dilaporkan oleh Anadolu Agency pada Rabu (26-7-2023).
Erdogan menegaskan bahwa mereka tidak akan mentolerir tindakan apa pun yang berusaha mengubah status quo tempat-tempat suci, terutama Masjidil Aqsa.
"Satu-satunya cara menuju perdamaian yang adil dan berkelanjutan di kawasan ini adalah dengan mendukung solusi dua negara antara Israel dan Palestina," tambahnya.
Namun, Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. sebagaimana dikutip oleh Muslimah News (29/07/2023), mengkritik pernyataan Erdogan tersebut. Menurut pandangan hukumnya, ia menyebut pidato presiden Turki tersebut sebagai bentuk "ketakutan" dan "ketundukan" kepada Eropa dan Amerika Serikat.
"Kritik ini timbul karena usulan untuk dua negara pertama kali dicetuskan oleh Komisi Peel yang dibentuk oleh Inggris sebagai pemegang mandat kekuasaan di Palestina. Pada 7 Juli 1937, komisi tersebut mengusulkan pembentukan negara Yahudi dan Arab untuk mendamaikan bangsa Palestina dan Israel," jelasnya.
Chandra menegaskan bahwa Turki saat ini berbeda dengan Turki zaman dahulu, yaitu Kesultanan Utsmaniyah. "Kesultanan Utsmaniyah dulu sangat ditakuti oleh Eropa dan Amerika Serikat. Citra Barat tentang Kesultanan Utsmaniyah berkisar antara musuh yang menakutkan dan surga yang eksotis. Alastair Sooke menggambarkan pandangan Barat tersebut sebagai 'horor dari Timur' dan surga yang eksotis sebagaimana yang diungkapkan dalam buku karya Haydn Williams berjudul 'Turquerie: An Eighteenth-Century European Fantasy'," lanjut Chandra.
Selanjutnya, Chandra yang juga menjabat sebagai Presiden International Muslim Lawyers Community (IMLC) menegaskan bahwa yang terjadi di Palestina adalah penjajahan.
"Kami telah melaporkan dan mengajukan gugatan ke International Criminal Court (ICC) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai keberadaan Israel di Palestina, namun hingga kini tidak ada tanggapan," tambahnya.
Chandra menunjukkan bahwa bukti bahwa Israel merupakan penjajah dapat dilihat dari Perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916 antara Inggris dan Prancis.
"Inggris dan Prancis membagi wilayah Arab yang dulunya merupakan bagian dari Kesultanan Utsmaniyah/Ottoman. Berdasarkan perjanjian tersebut, Prancis mendapatkan wilayah jajahan Suriah dan Lebanon, sementara Inggris menguasai wilayah jajahan Irak dan Yordania. Palestina, pada saat itu, dinyatakan sebagai wilayah internasional. Kemudian, pada tahun 1917, terjadi Deklarasi Balfour yang menjanjikan pendirian negara Yahudi di tanah Palestina," urainya.
Chandra juga menegaskan bahwa kemerdekaan sejati bagi Palestina adalah ketika Israel meninggalkan wilayah Palestina.
"Kemerdekaan Palestina tidak dapat diartikan sebagai berdirinya dua negara, yaitu Israel dan Palestina. Jika hal itu terjadi, maka sebenarnya Palestina belum merdeka. Dalam perspektif sejarah, Palestina dan negara-negara Muslim lainnya tidak dapat benar-benar "bebas" dari penjajahan selama umat Muslim masih "terkekang" dalam negara-negara nasional," tegasnya. [IDN]
Post a Comment