Mengungkap Kebijakan Anti-Korupsi Khalifah Al-Watsiq
Abu Ja’far Harun al-Watsiq Billah bin Al-Mu’tashim bin ar-Rasyid adalah khalifah kesembilan dari Bani Abbasiyah. Ia naik tahta setelah ayahnya, Al-Mu'tashim Billah, meninggal dunia. Al-Watsiq memimpin sebagai khalifah selama lima tahun sembilan bulan.
Al-Watsiq dikenal sebagai seorang khalifah yang sangat memperhatikan kepentingan rakyat dan tegas terhadap pegawai pemerintahan yang melakukan kecurangan dalam menjalankan tugas mereka. Selama masa kekhalifahannya, banyak pejabat dan pegawai negara yang dihukum dan harta mereka disita karena harta tersebut diperoleh secara tidak sah.
Suatu saat, Khalifah Al-Watsiq bertanya tentang alasan mengapa kakeknya, Khalifah Harun ar-Rasyid, marah besar terhadap orang-orang Baramikah. Diceritakan kepada Al-Watsiq bahwa orang-orang Baramikah telah menghamburkan harta negara dan tidak memenuhi hak-hak rakyat, sehingga Harun ar-Rasyid menghukum dan menyita harta mereka.
Mendengar hal ini, Khalifah Al-Watsiq berkata, "Demi Allah, kakekku benar. Orang yang lemah adalah orang yang tidak sewenang-wenang." Al-Watsiq menyebut pejabat dan pegawai negara yang memperkaya diri sendiri tanpa memedulikan kebutuhan rakyat sebagai pengkhianat. Beliau memberikan hukuman dan menyita harta mereka sebagai bentuk tindakan terhadap pengkhianatan tersebut.
Khalifah Al-Watsiq mengambil langkah-langkah tegas terhadap pejabat administrasinya yang melakukan kecurangan, dengan menyita sejumlah besar harta mereka dan memberikan hukuman. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
- Ahmad bin Israil, 8.000 dinar
- Sulaiman bin Wahab, 400.000 dinar
- Al-Hasan bin Wahab, 14.000 dinar
- Ahmad bin Al-Kashib dan para sekretarisnya, 14.000 dinar
- Ibrahim bin Rabah dan para sekretarisnya, 1.000.000 dinar
- Najah, 60.000 dinar
- Abu Al-Wazir, 140.000 dinar
Harta yang disita adalah harta yang tidak sesuai dengan gaji atau tunjangan yang mereka terima, sehingga merupakan harta yang diperoleh secara tidak sah.
Harta yang diperoleh oleh para wali, amil, dan pegawai negara dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat Islam disebut sebagai harta ghulul. Baik harta tersebut milik negara ataupun milik rakyat, mereka tidak boleh mengambil harta tersebut kecuali dalam bentuk gaji atau tunjangan.
Setiap harta yang diperoleh dengan memanfaatkan jabatan, kekuasaan, atau status kepegawaian, baik harta itu milik negara maupun individu, dianggap sebagai harta ghulul, yaitu perolehan yang dilarang oleh agama dan bukan hak mereka. Hal ini karena harta tersebut diperoleh melalui cara yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Mereka diwajibkan mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui. Jika pemiliknya tidak diketahui, maka harta tersebut disita dan diserahkan kepada baitulmal kaum Muslimin.
Allah SWT berfirman, "Barang siapa berbuat curang (ghulul), pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya" (QS Ali Imran: 161).
Muadz bin Jabal menceritakan, "Rasulullah SAW mengutusku ke Yaman. Setelah aku berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pun pulang kembali. Rasulullah SAW bertanya kepadaku, 'Tahukah engkau mengapa aku mengutus orang untuk menyusulmu? Janganlah engkau mengambil sesuatu untuk kepentingan pribadi tanpa izinku. Itu merupakan kecurangan, dan barang siapa berbuat curang, pada hai kiamat ia akan dibangkitkan dalam keadaan membawa beban kecurangannya. Untuk itulah engkau kupanggil, dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugasmu'" (HR At-Tirmidzi).
Abu Mas'ud juga menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah menunjuknya sebagai pengumpul zakat. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai Abu Mas'ud, berangkatlah, semoga pada hari kiamat nanti aku tidak menjumpaimu datang dengan memikul seekor unta sedekah yang berteriak-teriak, yang engkau curangi." Aku menjawab, "Jika begitu, maka aku tidak akan berangkat!" Nabi SAW menjawab, "Aku tidak memaksamu" (HR Abu Daud).
Kebijakan yang diambil oleh Khalifah Al-Watsiq tidak hanya mengikuti jejak Khalifah Harun ar-Rasyid, tetapi juga menerapkan prinsip syariat Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat memimpin Negara Madinah.
Dengan kebijakn yang tegas dan berlandaskan syariat Islam seperti ini, pejabat dan pegawai negara yang curang dalam memanfaatkan posisi mereka akan merasa takut dan jera. Harta negara dan baitulmal akan terjaga, sementara kebutuhan masyarakat, baik yang pokok maupun pelengkap, akan terpenuhi. [IDN]
Post a Comment