Solusi Mitigasi Bencana dalam Islam: Potensi dan Keunggulan
Dalam satu minggu terakhir (3-9 Juli 2023), terjadi 37 bencana di wilayah Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan. Enam orang dilaporkan meninggal dunia akibat bencana tersebut (tribratanews[dot]polri[dot]go[dot]id, 11-7-2023).
Salah satu contoh bencana adalah banjir yang terjadi di Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, NTB. Ribuan rumah terendam banjir sejak Kamis (6-7-2023). Di Desa Emang Lestari, terdapat 1.370 rumah warga yang terendam air dengan ketinggian mencapai 50 cm. Selain itu, banjir juga merusak 28 ton pupuk urea milik warga, stok sembako, bangunan sekolah, dan lainnya (CNN Indonesia, 8-7-2023).
Pada hari berikutnya, Jumat (7-7-2023), Kabupaten Lumajang di Jawa Timur dilanda bencana banjir lahar dingin Gunung Semeru. Cuaca ekstrem dengan curah hujan tinggi selama beberapa hari menyebabkan banjir dan tanah longsor. Akibatnya, tiga orang tewas tertimbun longsor, ribuan warga terpaksa mengungsi, lima jembatan antardesa ambruk, dan kerugian lainnya (sumber tidak disebutkan).
Menurut laporan World Risk Report 2022, Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara paling rawan bencana di dunia. Frekuensi bencana alam di Indonesia meningkat 81% selama 12 tahun terakhir. Pada tahun 2010, tercatat 1.945 bencana alam, sedangkan pada tahun 2022 jumlahnya meningkat menjadi 3.544 bencana alam (CNBC Indonesia, 2-3-2023).
Indonesia dikategorikan sebagai negara rawan bencana karena letaknya yang berada di pertemuan tiga lempeng. Pergerakan lempeng ini membuat Indonesia rentan terhadap berbagai bencana alam, seperti gempa bumi tektonik, tsunami, dan erupsi gunung berapi.
Namun, mitigasi bencana di Indonesia dianggap kurang optimal. Bencana alam terus menelan korban jiwa dan kerugian material. Menurut BNPB, hingga 9 Juni 2023, bencana alam telah menyebabkan 154 jiwa meninggal dunia, 8 jiwa hilang, 5.490 luka-luka dan terdampak, serta 2.858.121 jiwa terpaksa mengungsi (Sindo News, 10-6-2023).
Mitigasi bencana adalah langkah yang diambil untuk mengurangi atau meminimalkan dampak bencana, baik sebelum, selama, maupun setelah bencana terjadi. Banyak pengamat yang mengkritik kurangnya efektivitas mitigasi bencana di Indonesia. Beberapa indikator kelemahan mitigasi tersebut adalah:
Pertama, langkah-langkah yang dilakukan sebelum bencana, seperti pemetaan wilayah rawan bencana, pembangunan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar, dianggap belum optimal.
Meskipun telah dilakukan pemetaan wilayah rawan bencana, edukasi kepada masyarakat sekitar dianggap masih kurang. Masih ada masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Alasan mereka enggan meninggalkan tempat tersebut bukan hanya karena ketidaktahuan, tetapi juga karena masalah ekonomi, seperti kehilangan pekerjaan. Jika negara dapat menjamin pekerjaan dan tempat tinggal bagi mereka, mungkin mereka akan bersedia untuk pindah.
Hal yang sama terjadi pada pembangunan bangunan tahan gempa. Warga bukan tidak ingin membangun rumah yang tahan gempa, tetapi bahan material yang mahal membuatnya sulit terjangkau. Jika negara memberikan fasilitas yang memadai, maka banyak warga yang dapat terlindungi.
Penanaman pohon bakau dan penghijauan hutan juga belum optimal. Selain jumlahnya yang sangat sedikit, aktivitas penebangan hutan yang dilakukan secara legal untuk kepentingan penambangan semakin marak. Hal ini mengakibatkan daerah resapan air hilang dan berkontribusi pada banjir. Jika negara melarang penambangan di daerah resapan, potensi banjir dapat dikurangi.
Kedua, saat terjadi bencana, penanggulangan bencana seharusnya berfokus pada pertolongan korban dan antisipasi kerusakan yang lebih lanjut. Namun, evakuasi korban sering kali terlambat dan kurang responsif. Masih banyak korban yang tidak ditemukan atau diselamatkan terlambat karena masalah teknis, seperti akses komunikasi dan kondisi jalan yang buruk.
Ketiga, dalam fase pemulihan pascabencana, langkah-langkah yang diambil juga dianggap belum optimal. Kebutuhan pokok, seperti makanan, air bersih, pakaian, dan obat-obatan, seringkali tidak tersedia dengan baik di tempat pengungsian. Pemerintah sering mengandalkan swasta atau sumbangan dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yang sering kali terlambat dan tidak memadai.
Selain itu, pembangunan infrastruktur yang rusak dan perbaikan rumah-rumah warga juga tidak mendapat perhatian yang cukup dan lambat diselesaikan. Akibatnya, proses pemulihan kehidupan warga pascabencana menjadi lama. Jika negara cepat membangun kembali infrastruktur yang rusak dan memberikan stimulus untuk pemulihan ekonomi mereka, kehidupan warga dapat pulih dengan cepat.
Buruknya mitigasi bencana ini sebenarnya disebabkan oleh kurangnya perhatian negara terhadap kepentingan umat. Dana yang dialokasikan untuk mitigasi bencana sangat minim, sementara alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur yang mendukung investasi justru besar. Padahal, mitigasi bencana seharusnya menjadi prioritas dalam rangka melindungi nyawa manusia.
Masalah lain adalah defisit kas negara. Ketika pemerintah diberikan masukan untuk membangun bangunan tahan gempa di daerah rawan gempa, implementasinya menjadi sulit karena membutuhkan dana yang besar.
Hal yang sama berlaku untuk evakuasi korban. Masalah utamanya adalah dana yang terbatas, sehingga transportasi mahal seperti helikopter yang dapat membuka akses jalan menjadi sulit tersedia. Pemulihan, termasuk perbaikan infrastruktur dan rumah warga, juga memerlukan sumber daya keuangan yang memadai.
Sistem demokrasi kapitalistik tidak dapat memenuhi kebutuhan ini karena defisit kas negara. Pendapatan negara yang bergantung pada utang dan pajak tidak dapat diandalkan untuk menyelesaikan permasalahan ini, termasuk dalam optimalisasi mitigasi bencana. Dalam sistem ini, harapan untuk mitigasi bencana yang baik adalah seperti burung hantu merindukan bulan.
Sistem demokrasi kapitalistik juga tidak menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam semua masalah, termasuk mitigasi bencana. Akibatnya, keterlibatan swasta menjadi dominan dalam penyelesaian masalah ini, misalnya dalam pembangunan infrastruktur. Jika swasta terlibat, pembangunan infrastruktur akan mengikuti kepentingan mereka, bukan kepentingan rakyat. Sehingga, masalah rakyat tidak akan terselesaikan secara optimal dan merata.
Dalam perspektif Islam, mitigasi bencana akan menjadi optimal karena dua faktor utama. Pertama, negara dianggap sebagai pihak sentral yang bertanggung jawab atas urusan umat. Para pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. atas apa yang menimpa rakyatnya. Maka mitigasi bencana akan menjadi prioritas yang dilaksanakan secara maksimal oleh para pemimpin untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai pengurus dan pelindung umat.
Kedua, kekuatan keuangan negara. Sumber keuangan yang melimpah dari baitulmal akan memadai untuk membiayai mitigasi bencana. Misalnya, saat para ahli menyarankan pemerintah untuk membangun rumah tahan gempa bagi warga di daerah rawan gempa, negara akan bertanggung jawab untuk membiayainya. Jika warga tidak mampu membangun karena biaya yang tinggi, maka negara berkewajiban membantu mereka karena itu menyangkut keselamatan jiwa manusia.
Hal yang sama berlaku untuk evakuasi korban. Upaya evakuasi akan dilakukan seefektif mungkin dengan menggunakan alat transportasi tercanggih. Evakuasi yang cepat memiliki potensi besar untuk menyelamatkan korban. Pembangunan kembali infrastruktur yang rusak juga akan dilakukan dengan cepat agar kehidupan rakyat dapat pulih.
Kesimpulannya, kondisi yang optimal dalam mitigasi bencana tidak akan pernah tercapai dalam sistem demokrasi kapitalistik yang abai terhadap keselamatan warga dan mengalami defisit kas negara akibat privatisasi sumber daya alam. Mitigasi bencana akan menjadi optimal jika sistem Islam diterapkan dalam sebuah institusi, karena sistem Islam akan menciptakan pemimpin yang amanah dalam mengurusi umat dan membangun kas negara yang kuat. [IDN]
Post a Comment