Paradoks Penyelenggaraan Haji: Kenaikan Biaya dan Tantangan Masyarakat
Indonesia Neo - NASIONAL - Pemerintah kembali mengusulkan kenaikan biaya haji dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI.
Menag Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) per jemaah pada 1445 H/2024 M dinaikkan menjadi Rp105.095.032.
Alasan di balik usulan ini melibatkan asumsi pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika dan riyal Saudi Arabia serta kenaikan biaya layanan di Arab Saudi, termasuk akomodasi, transportasi, dan konsumsi.
Isu kenaikan biaya haji tampaknya menjadi masalah rutin setiap tahunnya, membuat calon jemaah khawatir bahwa dana yang terkumpul mungkin tidak mencukupi.
Untuk tahun ini, BPIH ditetapkan sebesar Rp90 juta, di mana jemaah membayar sekitar 55,3%, dan sisanya diambil dari manfaat dana haji.
Dibandingkan tahun sebelumnya yang sekitar Rp81,7 juta, terjadi lompatan biaya BPIH sebesar Rp8,7 juta.
Jika usulan Menag untuk 2024 disetujui, lompatan biaya tersebut akan mencapai sekitar Rp15 juta, dan jemaah diperkirakan harus menyiapkan dana sekitar Rp73,5 juta atau melompat sekitar Rp33 juta.
Kenaikan ini memicu kekhawatiran bahwa banyak jemaah mungkin tidak dapat berangkat pada tahun mendatang.
Penyebab utama kenaikan biaya haji melibatkan faktor kurs mata uang dan biaya layanan di Arab Saudi.
Namun, pertanyaan muncul apakah asumsi ini harus sebesar itu, dan apakah pemerintah bisa menemukan skema pembiayaan yang lebih efektif dan efisien.
Alasan pemerintah untuk kenaikan biaya haji bukanlah hal baru, dan isu terkait mismanagement dan korupsi juga telah lama menjadi perhatian.
Sejumlah faktor seperti ketidakjelasan pengelolaan dana haji, tudingan penggunaan skema Ponzi, dan ketidaktransparan terkait pengelolaan dana haji oleh BPKH menambah kekhawatiran calon jemaah.
Pentingnya pengaturan haji yang efisien dan transparan diakui sebagai hak warga negara dalam beribadah.
Namun, paradigma kepemimpinan yang cenderung sekularis dan kapitalis neoliberal dianggap sebagai penghambat optimalisasi pelayanan haji.
Di sisi lain, sistem kepemimpinan Islam, seperti Khilafah, yang berdasarkan akidah dan memberikan prioritas pada pelayanan dan perlindungan terhadap umat, dianggap sebagai solusi yang lebih baik.
Kembali pada masa kekhalifahan 'Abbasiyyah dan Utsmaniyah, pelayanan haji diatur dengan baik, dan pemimpin menjalankan tugasnya sebagai pelayan dan penjaga umat.
Kini, harapan terletak pada pemulihan sistem kepemimpinan Islam, di mana pelayanan haji dapat dijalankan dengan efisien, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Post a Comment