Ketimpangan dan Tantangan Konsep Indonesia Emas 2045 Menurut Pengamat Sosial Ekonomi
Indonesia Neo, NASIONAL - Wakapolri Komjen Pol. Drs. Agus Andrianto, S.H., M.H. melakukan kunjungan kerja ke Pekanbaru. Dalam kunjungan tersebut, ia juga bersilaturahmi ke perguruan tinggi negeri dan swasta dengan membawa beasiswa. Program ini merupakan salah satu strategi di dunia pendidikan untuk persiapan menuju Indonesia Emas 2045. Beasiswa diberikan kepada 150 mahasiswa dari 15 PT di Gedung Daerah Balai Serindit Pekanbaru, Rabu (22-11-23).
Pengamat sosial ekonomi Yeni Asropi, Ph.D. menilai, terjadi ketimpangan yang jauh antara harapan dan realitas pada konsep Indonesia Emas 2045.
“Menargetkan pembelajaran yang fokus kepada pembelajar (mahasiswa), tetapi faktanya tidak semua generasi muda usia kuliah mampu belajar di kampus. Yang sudah ada di kampus pun banyak yang terputus studinya karena tidak ada biaya. Solusi yang ada berupa beasiswa sangat terbatas dan tidak sebanding dengan kebutuhan,” ungkapnya kepada redaksi MNews, Ahad (10-12-2023).
Indikator kemajuan, lanjutnya, yang ditarget dalam konsep Indonesia Emas 2045 adalah pertumbuhan ekonomi. “Sejak reformasi, ekonomi Indonesia justru makin mengukuhkan liberalisme,” ujarnya.
Sistem ekonomi Indonesia dengan oligarkinya jelas mengadopsi ekonomi kapitalisme, terangnya, bahkan lebih kapitalistik dibandingkan dengan negara kapitalis sekalipun. “Misalnya, menuntut penghapusan subsidi, perdagangan bebas, privatisasi BUMN, penanaman modal asing dan investasi asing yang makin besar, tapi tidak memiliki dampak terhadap kesejahteraan rakyat. Di dunia pendidikan, penghapusan subsidi menyebabkan biaya pendidikan makin mahal dan makin sulit diakses,” jabarnya.
Selain itu, ungkapnya, standar kualitas SDM yang dipakai saat ini mengacu sepenuhnya kepada indikator asing yang lepas dari standar Islam. “Penguatan link dengan industry, mau tidak mau berdampak pada dominasi kepentingan dunia usaha dunia industri (DUDI) di perguruan tinggi,” paparnya.
Industri, imbuhnya, otomatis berputar pada tataran keuntungan materi semata, sedangkan perguruan tinggi seharusnya menghasilkan SDM yang bertakwa, taat kepada aturan Allah, memiliki empati kepada masyarakat, dan memiliki skill untuk mencari solusi problem masyarakat. “Jika indikator pendidikan dan kemajuan yang dipakai lepas dari syariat dan mengikuti arahan asing, tentu yang terwujud bukan Indonesia yang maju dan mandiri, tetapi Indonesia yang makin dicengkeram oleh hegemoni asing,” jelasnya.
Ia kemudian menjabarkan konsep Islam. “Dalam Islam, kemajuan memiliki dimensi dunia dan akhirat. Konsep kemajuan Islam telah diterapkan dan berhasil gemilang selama sekitar 14 abad,” terangnya.
Daulah Islam, tambahnya, menerapkan syariat Islam secara kafah di segala bidang, termasuk ekonomi Islam yang mengelola SDA secara mandiri tanpa campur tangan asing. “Kekayaan alam dikelola untuk kepentingan rakyat, termasuk pendanaan pendidikan sehingga kampus-kampus megah masa Islam tidak menggantungkan pembiayaan pada industri apalagi asing,” ungkapnya.
Pendidikan gratis dan berkualitas, imbuhnya, berbasis akidah Islam. “Ini diberikan sebagai bagian tanggung jawab khalifah kepada rakyat, bukan sebagai barang dagangan (trade) yang makin mahal dan komersil seperti sekarang,” paparnya.
Sejak melepaskan syariat Islam dan institusi pelaksananya yaitu Khilafah, jelasnya, umat Islam terpecah, terpuruk dan terjajah, dari penjajahan fisik berlanjut ke neoimperialisme (terjajah secara politik dan ekonomi). “Padahal, sebelumnya, kita sekian lama meraih posisi negara adidaya mandiri dan sejahtera melalui penerapan syariat Islam secara total,” tuturnya.
Maka, tekannya, ironis jika hanya berharap pada aturan manusia untuk membawa pada kemajuan. “Sudah waktunya kita sadar bahwa kita adalah umat terbaik yang diciptakan Allah untuk manusia, asalkan kita kembali sepenuhnya kepada arahan dan keridaan Allah Swt.,” ajaknya.
Post a Comment