PHK Massal Terus Terjadi, Kesejahteraan Keluarga Terancam
Oleh: Asma Sulistiawati*)
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK massal masih terus terjadi. Tahun 2021 ketika virus covid 19 menjangkiti tanah air, data Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) mengatakan terdapat 72.983 pekerja dengan 4.156 perusahaan telah melakukan PHK karyawannya sebagai efek pandemi covid 19 (liputan6.com, 14/12/2021).
Pasca pandemi, nasib pekerja makin tak menentu dan angka PHK tetap saja tinggi. Data Kementerian Ketenagakerjaan dalam selang waktu Januari hingga November 2023 sudah terdapat 57.923 pekerja telah di PHK di Indonesia (databoks.katadata.co.id).
Tingginya angka PHK ini juga berlanjut di awal tahun 2024. Yang terbaru menimpa sebuah pabrik ban di Cikarang yang membuat 1.500 pekerja harus ‘dirumahkan’. Menurut Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam pemecatan pekerja tersebut disebabkan karena perlambatan ekonomi dunia (cnbcindonesia.com, 23/1/2024). Perlambatan ekonomi berefek pada tingginya daya saing produk, naiknya bahan baku, serbuan produk impor, pelemahan rupiah dan daya beli masyarakat yang menurun. Untuk menjaga efisiensi perusahaan, PHK menjadi salah satu solusi yang diambil.
Selain itu, kondisi geopolitik dunia mempengaruhi arus ekspor. Sementara di sisi lain, berbagai kebijakan berdampak buruk pada pekerja. Adanya sistem perdagangan bebas dan lemahnya produk dalam negeri serta perlindungan negara terhadap industri memberikan pengaruh terhadap kestabilan usaha. Fakta inilah yang terjadi pada perusahaan di tanah air seperti perusahaan industri tekstil dan produk tekstil nasional serta perusahaan lain .
Walhasil, masyarakat sekali lagi menjadi korban. Sumber penghasilan yang selama ini diandalkan untuk menghidupi keluarga harus hilang akibat PHK. Berkurangnya lahan dalam mencari rezki, ditambah lagi harga kebutuhan pokok yang terus naik semakin menambah kerasnya kehidupan saat ini. Angka pengangguran dan kemiskinan pun makin tinggi, kesejahteraan keluarga dalam ancaman.
Walau kemudian, pemerintah melakukan berbagai upaya mengatasi persoalan ini, seperti membagikan bantuan langsung tunai, beasiswa, bansos dan Program Keluarga Harapan (PKH). Namun, faktanya bantuan tersebut belum menyeluruh dan menyentuh seluruh masyarakat, sehingga belum berefek dalam memutus mata rantai kemiskinan. Tetap saja, kehidupan makin sulit dan berat. Lapangan pekerjaan pun makin berkurang dan lebih didominasi sektor swasta dengan aturan kerja kontrak dan outsourcing, yang sering kali merugikan pekerja. Aturan dan regulasinya pun lebih pro swasta atau pemilik modal. Semua ini merupakan cerminan sistem kapitalisme yang menjadi landasan dalam perekonomian dan kehidupan.
Dalam sistem kapitalisme, perekonomian diatur dengan sistem ekonomi kapitalis, yang memposisikan negara hanya sebagai regulator dan pembuat aturan saja. Kepentingan rakyat harus kalah oleh kepentingan pemilik modal atau oligarki. Kondisi ini merupakan suatu keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalis. Telah banyak aturan yang dibuat sesuai dengan kebutuhan pengusaha atau swasta. Tengok saja, aturan atau sistem perdagangan bebas terkait barang-barang impor yang dengan leluasanya keluar masuk tanah air. Masuknya barang-barang impor akan mematikan produk lokal atau UMKM. Begitu pun dengan adanya Undang-Undang Omnibus Low yang banyak menuai kecaman masyarakat. Hal yang sangat berbeda dalam sistem Islam.
Sistem Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna memiliki solusi yang lengkap dan menyeluruh. Penguasa dalam sistem Islam diposisikan sebagai riayatusy syuunil ummah atau memelihara urusan umat. Sebagaimana dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda : ”Imam atau Khalifah itu laksana gembala (raa’in), dan dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya”.
Negara dalam sistem Islam penguasa wajib memberikan menjamin kepada rakyatnya untuk berusaha atau bekerja untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya baik sandang, pangan maupun papan dengan jalan halal dan sesuai syariat. Pengabaian terhadap urusan ini adalah suatu bentuk kezaliman.
Sistem Islam yakni Khilafah juga akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang jauh dari kata PHK. Dalam sistem ekonomi Islam, roda perekonomian difokuskan pada sektor riil dan bebas riba. Negara wajib turut campur dalam penyaluran dan distribusi barang dan jasa di masyarakat.
Selain itu, Khilafah berupaya untuk menyediakan berbagai lapangan kerja bagi rakyatnya dan memberikan jaminan perolehan harta selain bekerja kepada rakyatnya, seperti harta waris, hibah dan pemberian harta/tanah dari negara kepada rakyatnya. Khilafah juga menutup segala akses yang memungkinkan seseorang memperoleh harta dari sumber yang haram seperti perjudian, pinjaman online dan berbagai muamalah berbasis ribawi. Sanksi hukum yang tegas diberikan bagi yang melanggar hukum syariat.
Inilah beberapa langkah yang dilakukan Khilafah untuk menyelesaikan persoalan PHK dengan tuntas. Penerapan syariat Islam dalam aspek kehidupan menjadi solusi persoalan kehidupan manusia, kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga akan terwujud di dunia dan akhirat. Solusi ini tidak diperoleh dari selain sistem selain Islam. Wallahu a’lam.
*) Pegiat Literasi Kota Baubau
Post a Comment