Header Ads


Kewirausahaan Konservasi

Oleh: Sunarwan Asuhadi*)


Di tengah percepatan arus globalisasi saat ini sebagai tuntutan modernisasi, tak bisa dipungkiri terjadi proses pelipatgandaan yang luar biasa dalam pengurasan sumber daya alam. Naifnya, upaya pembangunan ini untuk siapa sebenarnya? Mengingat upaya modernisasi saat ini menghasilkan ‘sedimentasi’ yang demikian besar berupa kemiskinan dan kerusakan lingkungan pada ‘muara’ pembangunan itu sendiri.

Secara umum mainstream analisis pembangunan selama ini selalu menyoal aspek ‘Teknis’ sebagai biang kesalahan pembangunan. Padahal soal ‘Teknis’ itu hanyalah salah satu dari semesta permasalahan pembangunan: IdeoSisTek (Ideologi-Sistem-Teknis). Sementara itu dua hal yang lainnya, seringkali menjadi bagian keramat untuk diperbincangkan.

Pada konteks teknis tadi, khususnya terkait dengan buruknya relasi antara pembangunan dan lingkungan, muncul banyak eksperimen di berbagai sektor pembangunan: sosial, ekonomi, dan lingkungan sendiri yang orientasinya menghasilkan solusi. Namun, sejauh ini aneka solusi yang hadir, belum dianggap mampu untuk memecahkan kebuntuan yang dimaksud.

Salah satu upaya yang dipopulerkan dalam 3 dasawarsa ini oleh sejumlah ahli dan praktisi lingkungan adalah memperkenalkan dan mendorong implementasi ‘kewirausahaan konservasi’ secara luas, walaupun hasilnya masih terkesan ‘jalan di tempat’ bahkan seringkali berjalan mundur.


Kewirausahaan Konservasi (Conservation Entrepreneurship)

Kewirausahaan konservasi merupakan konsep yang menggabungkan prinsip-prinsip kewirausahaan dengan tujuan utama untuk melindungi dan memelihara alam dan lingkungan. Pendekatan ini melibatkan penciptaan dan implementasi model bisnis yang berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk mencapai tujuan konservasi.

Konsep Kewirausahaan Konservasi pertama kali diperkenalkan oleh Paul Hawken pada tahun 1993 dalam bukunya yang berjudul “The Ecology of Commerce”, dengan memperkenalkan konsep “natural capitalism,” yang merupakan sistem ekonomi yang menghargai dan menggabungkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan pengelolaan lingkungan.

Dalam bukunya, Hawken menyoroti pentingnya kewirausahaan dalam melindungi lingkungan dan menyelamatkan alam. Ia berpendapat bahwa kewirausahaan yang berorientasi pada konservasi dapat menjadi solusi untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Sebagai seorang ahli lingkungan, aktivis, dan penulis terkenal yang terlibat aktif dalam gerakan konservasi dan keberlanjutan, Hawken mendefinisikan kewirausahaan konservasi sebagai praktik bisnis yang berfokus pada solusi dalam mengatasi masalah lingkungan dan keberlanjutan. Pendekatan kewirausahaan konservasi menurut Hawken mencakup berbagai sektor, seperti energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, pengelolaan limbah, dan pelestarian hutan. Ia yakin bahwa dengan menjadi wirausahawan konservasi, individu dan perusahaan dapat memainkan peran penting dalam menciptakan perubahan positif untuk alam dan masyarakat.

Selain Hawken, terdapat beberapa pakar dan praktisi yang aktif mengusung tema-tema kewirausahaan konservasi. Adalah Jeff Orlowski, seorang pembuat film dokumenter yang berfokus pada perubahan iklim, telah menginspirasi banyak orang melalui karyanya untuk mengambil tindakan terhadap masalah lingkungan. Melalui film-film seperti “Chasing Coral”, dia menyoroti pentingnya ekosistem laut dan dampak perubahan iklim terhadapnya. Kewirausahaan konservasi dapat memanfaatkan media visual yang kuat seperti film untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong inovasi dalam pelestarian lingkungan.

Ada juga Sanjayan, dengan perannya sebagai CEO Conservation International, telah menunjukkan bagaimana kemitraan strategis dapat memperkuat upaya konservasi. Organisasinya bekerja sama dengan pemerintah dan perusahaan untuk melestarikan alam, terutama di Global Selatan. Kewirausahaan konservasi dapat belajar dari pendekatan Sanjayan dalam membangun jembatan antara sektor publik dan swasta untuk menciptakan solusi berkelanjutan yang menguntungkan baik lingkungan maupun ekonomi.

Adapun Stuart Hart, yang memiliki pengalaman dalam bisnis keberlanjutan dan kewirausahaan sosial, telah menekankan pentingnya inovasi bisnis dalam mengatasi masalah lingkungan global. Melalui pendidikan dan penelitian, dia telah mendorong pemikiran baru tentang bagaimana bisnis dapat berkontribusi pada keberlanjutan. Kewirausahaan konservasi dapat mengadopsi prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Hart untuk menciptakan model bisnis yang tidak hanya menguntungkan tetapi juga memperbaiki kondisi planet kita.


Kawasan Konservasi dan Lokasi Praktek Kewirausahaan Konservasi

Salah satu lokasi yang paling terdepan untuk inisiasi dan instalisasi kewirausahaan konservasi adalah Kawasan Konservasi semisal Taman Nasional atau daerah yang mengidentifikasi diri sebagai wilayah ataupun Kabupaten yang melek konservasi. Setidak-tidaknya di area semacam itu memiliki infrastruktur atau suprastruktur yang relevan dengan konservasi. Oleh karena itu, keberhasilan konservasi di wilayah tersebut bisa diukur dari bagaimana praktek-praktek kewirausahaan konservasi dapat atau gagal diimplementasikan.

Kawasan konservasi didefinisikan sebagai area yang digunakan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan keindahan alam yang ada di dalamnya. Namun, pengelolaan kawasan konservasi seringkali memerlukan sumber daya yang cukup besar, seperti dana dan tenaga kerja, untuk menjaga kelestariannya. Kewirausahaan konservasi dapat menjadi solusi untuk menjaga keberlanjutan kawasan konservasi, dengan memanfaatkan potensi alam yang ada di dalamnya secara bijaksana. Misalnya, pengembangan pariwisata berkelanjutan atau pengembangan produk-produk alami dari bahan-bahan yang dapat ditemukan di wilayah tersebut, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan memperkuat upaya pelestariannya. Melalui kewirausahaan konservasi, masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam pengelolaan konservasi, baik sebagai penyedia jasa atau produk, sehingga meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan demikian, kewirausahaan konservasi merupakan peluang penting dalam memperkuat ekonomi lokal dan membangun kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan di kawasan konservasi.


Lima Cara Kewirausahaan Konservasi

Menghadapi tantangan konservasi yang semakin kompleks dan mendesak, diperlukan pendekatan yang inovatif dan berani untuk mengatasi akar masalahnya. Berdasarkan pengalaman dan penelitian terbaru, terdapat lima strategi utama yang diyakini dapat diimplementasikan untuk memajukan bidang kewirausahaan konservasi di seluruh dunia. Pada tahun 2016, Fred Nelson & Alasdair Harris memperkenalkan Lima Cara untuk Mendorong Kewirausahaan Konservasi tersebut.

Pertama, konservasi bukan sekedar pendekatan konservasi konvensional yang berbasis biologi semata. Saat ini, konservasi terlalu sering terpaku pada solusi teknis berbasis biologi, seperti penangkaran atau pengendalian spesies invasif, tanpa memperhatikan perubahan perilaku manusia yang mendasarinya. Konservasionis harus mulai menggabungkan ilmu biologi dengan pengetahuan sosial dan ekonomi untuk mengembangkan solusi yang lebih holistik dan berkelanjutan.

Kedua, dominasi sektor publik dalam pengelolaan sumber daya alam perlu dikurangi. Tradisi lama dimana negara atau lembaga publik mengendalikan hutan dan satwa liar telah menghambat inovasi lokal dan eksperimen kewirausahaan. Melalui peningkatan hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan sumber daya mereka sendiri, kita dapat menciptakan insentif yang lebih baik untuk praktik konservasi yang berkelanjutan dan dapat diterapkan secara luas.

Ketiga, dari proyek ke prototipe. Banyak proyek konservasi saat ini terlalu terpaku pada solusi lokasi-spesifik tanpa memperhitungkan keberlanjutan atau replikasi potensial. Kita perlu beralih ke pendekatan prototipe, di mana inisiatif konservasi diuji dengan hipotesis yang jelas tentang perubahan perilaku dan dampak yang dapat diukur. Beberapa keberhasilan dalam kewirausahaan konservasi dapat dicatat dari Model Lion Guardians dan Blue Ventures. Lion Guardians berhasil meningkatkan populasi singa dengan melibatkan suku lokal Maasai di Kenya, mengubah peran pemburu tradisional menjadi pengawas dan pembela singa, serta memberdayakan komunitas lokal untuk meningkatkan ekonomi mereka.

Sementara itu, Blue Ventures berhasil melindungi terumbu karang berharga di Madagaskar dan Indonesia, mengembangkan model pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, dan mendorong diversifikasi mata pencaharian masyarakat nelayan. Blue Ventures juga dianggap sukses dalam kewirausahaan konservasi di Kaledupa, Wakatobi melalui implementasi penutupan sementara perikanan gurita yang dipimpin oleh komunitas di Desa Darawa pada Juni 2018. Ini merupakan penutupan perikanan yang dipimpin komunitas pertama di Taman Nasional Wakatobi. Untuk mendukung proses pengambilan keputusan, komunitas Darawa mulai mengumpulkan data tentang perikanan guritanya dengan bantuan mitra mereka, FORKANI. Kedua model ini telah membuktikan bahwa melibatkan masyarakat lokal dan memperhatikan kesejahteraan mereka merupakan faktor kunci dalam mencapai konservasi yang berkelanjutan.

Keempat, perlunya peningkatan “pasar” konservasi. Meskipun ada banyak inisiatif konservasi yang inovatif, kurangnya koordinasi dan aksesibilitas antara organisasi lokal dengan pemberi dana global sering menghambat potensi perluasan solusi yang efektif. Diperlukan transformasi dalam cara pemberi dana memikirkan dan mendukung inovasi lokal yang dapat diperluas, serta kolaborasi yang lebih kuat antara berbagai pemangku kepentingan.

Kelima, pentingnya transformasi skala sistem. Tantangan konservasi saat ini membutuhkan transformasi skala besar dalam sistem sosial dan ekologis. Ini termasuk reformasi kebijakan, kolaborasi multi-pelaku, dan penggunaan teknologi baru untuk mencapai dampak yang berkelanjutan. Contoh seperti penurunan deforestasi Amazon menunjukkan bahwa perubahan skala besar mungkin terjadi ketika ada kombinasi tepat dari model konservasi lokal, kebijakan yang mendukung, dan partisipasi masyarakat.


Kritik Terhadap Konsep Kewirausahaan Konservasi

Dengan menerapkan lima strategi di atas secara serius dan kolaboratif, keduanya meyakini dapat memajukan kewirausahaan konservasi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan berdampak besar. Namun demikian, ada beberapa tantangan yang dikandung dalam gagasan yang disampaikan oleh keduanya.

Pertama, ada penekanan berlebihan pada kewirausahaan Sosial. Gagasan di atas mengasumsikan bahwa pendekatan kewirausahaan sosial adalah solusi utama untuk tantangan konservasi. Meskipun inovasi dan kewirausahaan penting, konservasi membutuhkan pendekatan yang lebih holistik, termasuk dukungan kebijakan pemerintah yang kuat, penegakan hukum yang efektif, dan partisipasi komunitas. Mengandalkan terlalu banyak pada kewirausahaan sosial bisa mengabaikan pentingnya peran negara dan kebijakan publik yang efektif.

Kedua. Kurangnya Fokus pada Keanekaragaman Hayati Spesifik. Keduanya mengakui pentingnya keanekaragaman hayati, namun tidak memberikan contoh spesifik atau kasus studi yang menunjukkan bagaimana pendekatan kewirausahaan telah berhasil melindungi spesies tertentu atau ekosistem tertentu. Tanpa contoh konkret, argumen ini terasa terlalu teoritis dan kurang membumi.

Ketiga. Kesulitan Implementasi di Negara Berkembang. Gagasan keduanya tidak cukup mengakui tantangan besar yang dihadapi negara-negara berkembang dalam mengimplementasikan pendekatan kewirausahaan konservasi. Banyak negara ini memiliki keterbatasan sumber daya, korupsi, dan kelemahan kelembagaan yang signifikan yang dapat menghambat inisiatif kewirausahaan konservasi.

Keempat. Minimnya Bukti Empiris. Keduanya memuji model seperti Lion Guardians dan Blue Ventures, namun keduanya tidak mengajukan analisis mendalam atau bukti empiris yang kuat yang menunjukkan efektivitas jangka panjang dari pendekatan-pendekatan ini. Apa yang terjadi pada model Lion Guardians dan Blue Ventures menunjukkan pada skala ruang dan waktu yang terbatas (jangka pendek). Walaupun praktek keduanya dapat dianggap mewakili contoh terbaik saat ini.

Kelima. Ketidakjelasan dalam Definisi dan Tujuan. Gagasan “kewirausahaan konservasi” masih memerlukan redefinisi yang lebih konkret dan bagaimana tepatnya pendekatan ini berbeda dari strategi konservasi tradisional. Definisi dan tujuan yang lebih jelas diperlukan untuk memahami bagaimana pendekatan ini akan diimplementasikan dan diukur keberhasilannya.

Keenam. Dominasi Perspektif Barat. Banyak contoh dan perspektif yang diangkat dalam tema ‘kewirausahaan konservasi’ berasal dari negara-negara Barat atau organisasi internasional. Ini bisa mengabaikan solusi lokal dan pengetahuan tradisional yang mungkin lebih efektif dan berkelanjutan dalam konteks tertentu. Perspektif global dan inklusif lebih dibutuhkan untuk menghadapi tantangan konservasi yang berbeda di seluruh dunia.

Ketujuh. Simplifikasi Masalah Kompleks. Sejauh ini konsep ‘kewirausahaan konservasi’ cenderung menyederhanakan masalah kompleks konservasi menjadi masalah perubahan perilaku manusia yang bisa diatasi dengan pendekatan kewirausahaan. Realitasnya, masalah konservasi sangat kompleks dan multidimensional, melibatkan interaksi antara ekologi, sosial, ekonomi, dan politik. Pendekatan yang lebih komprehensif dan multi-disiplin diperlukan. Bahkan secara umum, konsep ‘kewirausahaan konservasi’ berada di lokus teknis yang ‘nyawanya’ dikendalikan oleh kondisi politik dan ideologisnya. Selama konservasi masih dibesarkan dalam kandang ‘Kapitalisme’, maka pertumbuhannya akan mengalami ‘stunting’ yang luar biasa.

Dunia membutuhkan pengasuhan ideologi yang berkeadilan, yang darinya bertumbuh ‘politik kebijakan’ yang sehat. Cukup sudah masyarakat global menjadi warga kapitalisme dan menyerahkan nasib mereka kepada ideologi kapitalisme yang semakin ke sini semakin ‘kanibal’. Kapitalisme tidak terpercaya untuk menjaga sistem kehidupan manusia menjadi manusiawi. Solusi? Islam saatnya menjadi pilihan. []

*) Alumni PSL IPB

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.