Header Ads


Kontribusi Taqiyuddin an-Nabhani dalam Konsep Kepemilikan

Oleh: Abu al-MArQAsh*)


Pengantar

Konsep kepemilikan dalam pemikiran Barat dan Eropa, dikritik oleh banyak pihak karena dianggap mengabaikan keadilan sosial dan tanggung jawab moral. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Karl Marx, dan Milton Friedman adalah beberapa dari sekian kontributor utama terhadap kacaunya konsep tata kepemilikan di dunia saat ini. Pendekatan mereka terhadap kepemilikan cenderung mendorong individualisme ekstrem, eksploitasi, dan ketidakadilan. Di sisi lain, Islam menawarkan pandangan yang lebih unggul tentang kepemilikan, yang bersumber dari wahyu Ilahi. Dalam Islam, hak kepemilikan selalu diimbangi dengan tanggung jawab sosial dan moral, memastikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat.


Kritik Terhadap Konsep Kepemilikan Barat

Pemikiran Barat dan Eropa mengenai konsep kepemilikan, yang berkembang dari masa ke masa, sering kali menghadapi kritik karena cenderung mengabaikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan tanggung jawab moral. John Locke, dalam "Two Treatises of Government" (1689), menekankan hak kepemilikan pribadi sebagai hak alami manusia, namun pendekatan ini mendorong individualisme ekstrem yang mengabaikan dampak sosial dari akumulasi kekayaan pribadi yang berlebihan. 

Di sisi lain, proses privatisasi atau enclosure di Inggris, yang terjadi pada abad ke-16 dan 17, memperlihatkan bagaimana kepemilikan umum diprivatisasi untuk kepentingan individu kaya, sebuah fenomena yang dikritik oleh Gerrard Winstanley dalam "The Law of Freedom in a Platform" (1652). Karl Marx dalam "Das Kapital" (1867) menyoroti bagaimana kapitalisme menghasilkan eksploitasi kelas pekerja melalui monopoli alat produksi oleh segelintir kapitalis, menciptakan ketimpangan ekonomi yang mendalam. 

Selain itu, Immanuel Wallerstein dalam "The Modern World-System" (1974) menjelaskan bagaimana kapitalisme global menciptakan ketidakadilan internasional dengan memonopoli sumber daya dari negara-negara berkembang. Milton Friedman, dalam "Capitalism and Freedom" (1962), mengadvokasi kebebasan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah, namun pandangannya sering dikritik karena mengabaikan tanggung jawab sosial, di mana kepemilikan pribadi dipisahkan dari kewajiban sosial. 

Berbeda dengan pendekatan ini, konsep kepemilikan dalam Islam memiliki keunggulan yang mendasar karena bersumber dari wahyu, dari zat yang Maha Menciptakan, Allah SWT, yang mengetahui hakikat kehidupan manusia dan apa yang terbaik untuk kemaslahatan mereka. Dalam Islam, kepemilikan tidak hanya diatur berdasarkan hak individu, tetapi juga selalu diiringi dengan tanggung jawab sosial dan moral yang memastikan keadilan serta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Prinsip ini menjadikan pandangan Islam tentang kepemilikan lebih unggul dan seimbang, karena didasarkan pada pengetahuan Ilahi yang sempurna.


Fiqih Islam tentang Kepemilikan

Fiqih Islam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk hukum kepemilikan harta. Konsep kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga kategori utama: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Setiap jenis kepemilikan ini diatur secara rinci dalam fiqih untuk memastikan keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh umat. Sepanjang sejarah, para ulama dari berbagai mazhab telah memberikan pandangan mereka mengenai konsep kepemilikan ini, yang berlandaskan pada Al-Quran, Hadis, serta prinsip-prinsip syariat. Artikel ini akan membahas sejarah dan perkembangan konsep kepemilikan dalam Islam, serta pandangan beberapa ulama kunci dari masa ke masa, termasuk Taqiyuddin an-Nabhani (1909–1977), yang memiliki kontribusi penting dalam pemikiran ini.

Kepemilikan individu dalam Islam didasarkan pada prinsip bahwa seseorang berhak memiliki dan menguasai harta yang diperoleh secara sah. Ini mencakup harta yang diperoleh melalui kerja, warisan, hadiah, dan transaksi jual beli yang sah. Al-Quran dan Hadis menjelaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas harta yang dimilikinya, baik dalam cara memperolehnya maupun dalam penggunaannya. Sebagai contoh, dalam Surah Al-Baqarah, Allah SWT melarang umat Islam untuk mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.

Sepanjang sejarah, para ulama seperti Imam Abu Hanifah (699–767), Imam Malik (711–795), dan Imam Al-Ghazali (1058–1111) memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami konsep kepemilikan individu dalam syariat Islam. Imam Abu Hanifah menekankan pentingnya hak kepemilikan individu, namun selalu dalam kerangka yang memperhatikan kemaslahatan umum, yaitu kepentingan bersama yang mendukung kesejahteraan masyarakat. Hal ini lebih lanjut dijelaskan oleh muridnya, Abu Yusuf, dalam Kitab al-Kharaj yang membahas pengelolaan fiskal dan aspek ekonomi Islam. Imam Malik dalam Al-Muwatta' mengajarkan bahwa kepemilikan pribadi diakui sebagai bagian dari fitrah (kodrat) manusia dalam syariat, namun penggunaannya tidak boleh merugikan orang lain dan harus senantiasa menegakkan keadilan. Sementara itu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya' 'Ulum al-Din melihat harta sebagai amanah (tanggung jawab) yang harus dikelola dengan bijak, dengan penekanan pada kewajiban sosial seperti zakat untuk menjaga keseimbangan dan kemaslahatan umat.


Kepemilikan Umum

Kepemilikan umum adalah harta atau sumber daya yang dimiliki bersama oleh seluruh masyarakat dan tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok tertentu. Ini termasuk sumber daya seperti air, padang rumput, dan sumber daya alam lainnya. Hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api" menjadi dasar utama bagi konsep ini.
Imam Syafi'i (767–820) menegaskan bahwa kepemilikan umum adalah hak masyarakat yang harus dikelola oleh negara untuk memastikan bahwa manfaatnya dirasakan oleh seluruh masyarakat. Konsep ini banyak diulas dalam kitab Al-Umm, di mana beliau menekankan pentingnya pengelolaan yang adil oleh negara. Ibnu Taymiyyah (1263–1328), seorang ulama dari mazhab Hanbali, memperluas konsep ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang esensial bagi kelangsungan hidup masyarakat harus dianggap sebagai kepemilikan umum. Pemikiran ini tercermin dalam karyanya Al-Hisbah fi al-Islam, yang menegaskan tanggung jawab negara dalam menjaga kepemilikan umum agar tidak dieksploitasi oleh pihak tertentu.


Kepemilikan Negara

Kepemilikan negara mencakup harta yang dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan publik. Ini termasuk tanah negara, sumber daya alam tertentu, dan pendapatan yang diperoleh dari pajak, zakat, atau hasil penaklukan. Dalam sejarah Islam, pengelolaan harta kepemilikan negara dilakukan oleh penguasa atau khalifah yang memiliki otoritas untuk mengelola dan mendistribusikannya demi kemaslahatan umat.

Imam Al-Mawardi (972–1058) dalam karyanya Al-Ahkam al-Sultaniyyah menekankan bahwa kepemilikan negara harus digunakan untuk kemaslahatan publik. Ibnu Khaldun (1332–1406), seorang sejarawan dan sosiolog, juga membahas konsep ini dalam konteks stabilitas politik dan ekonomi. Dalam kitabnya Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun memperingatkan bahwa negara harus menggunakan harta tersebut dengan bijak untuk menjaga stabilitas sosial dan politik, serta menghindari monopoli yang dapat merusak perekonomian dan menyebabkan ketidakadilan.


Pandangan Taqiyuddin an-Nabhani tentang Kepemilikan

Taqiyuddin an-Nabhani (1909–1977) menawarkan pandangan yang khas dan rinci mengenai konsep kepemilikan dalam Islam, yang banyak dipengaruhi oleh aspirasinya untuk membentuk kembali Khilafah Islamiyah dan mengatur masyarakat berdasarkan hukum Islam secara menyeluruh. An-Nabhani menguraikan tiga kategori kepemilikan: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara, dengan memberikan batasan-batasan yang jelas untuk setiap jenis kepemilikan tersebut. Pandangan ini banyak tertuang dalam karya utamanya Nizham al-Iqtisad fil Islam.

An-Nabhani menegaskan bahwa Islam mengakui hak kepemilikan individu sebagai salah satu hak yang fundamental. Namun, ia menekankan bahwa kepemilikan individu tidak bersifat mutlak dan harus tunduk pada hukum-hukum Allah. An-Nabhani menolak konsep kepemilikan mutlak yang ada dalam kapitalisme, di mana individu dapat melakukan apa saja dengan hartanya tanpa memperhatikan kesejahteraan sosial.

An-Nabhani memiliki pandangan yang jelas mengenai kepemilikan umum. Menurutnya, kepemilikan umum mencakup sumber daya alam yang penting untuk kehidupan masyarakat dan tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok tertentu. Ia menekankan bahwa negara dalam Islam harus bertindak sebagai pengelola dan penjaga kepemilikan umum, memastikan bahwa hasil dari sumber daya ini digunakan untuk kemaslahatan umat. Privatisasi sumber daya yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum, menurut an-Nabhani, adalah haram karena dapat menyebabkan ketidakadilan sosial dan eksploitasi.

An-Nabhani juga memberikan pandangan yang jelas tentang kepemilikan negara, yang menurutnya mencakup segala sesuatu yang berada di bawah kontrol pemerintah dan digunakan untuk mengatur dan mengelola urusan masyarakat. Ia menekankan bahwa negara bertanggung jawab penuh untuk menggunakan harta kepemilikan negara untuk kemaslahatan umum, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pertahanan. Harta tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi penguasa atau kelompok tertentu, melainkan harus didistribusikan secara adil dan transparan.

Konsep kepemilikan dalam Islam telah berkembang dari waktu ke waktu, dengan pandangan ulama yang kaya dengan perspektif yang tumbuh dari prinsip keadilan, tanggung jawab, dan kemaslahatan umum. Para ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Ibnu Taymiyyah, Imam Al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun, telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan pemikiran ini. Taqiyuddin an-Nabhani juga memberikan pandangan yang komprehensif mengenai konsep kepemilikan dalam konteks modern, dengan penekanan pada pentingnya pengelolaan yang adil oleh negara dan penghindaran privatisasi yang dapat merugikan masyarakat. Keseluruhan konsep ini menunjukkan upaya Islam dalam menciptakan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan umum, serta memastikan bahwa harta kekayaan digunakan untuk kemaslahatan umat.[]


*) Pemerhati Sosial Ekonomi Kepton

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.