Header Ads


Kontroversi PP 28/2024: Chandra Purna Irawan Soroti Ketidaksinkronan Regulasi dan Krisis Moralitas dalam Sistem Sekuler


IndonesiaNeo, NASIONAL - Masyarakat dikejutkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) [tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023] tentang Kesehatan yang baru saja diumumkan dan memicu kontroversi. Salah satu pasal yang memicu polemik tajam di kalangan masyarakat adalah ketentuan mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi kelompok usia sekolah dan remaja.

Pasal 103 ayat (4) PP 28 Tahun 2024 [menyatakan], “Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi a. deteksi dini penyakit atau skrining; b. pengobatan; c. rehabilitasi; d. konseling; dan e. penyediaan alat kontrasepsi.”

PP 28/2024 ini dianggap bertentangan dengan undang-undang, menunjukkan adanya ketidaksinkronan dan tumpang tindih dalam pembuatan peraturan, yang seolah mengabaikan adanya larangan dalam undang-undang terkait penyediaan alat kontrasepsi. Hal ini menimbulkan kebingungan dan keraguan di kalangan publik.

Dalam hal distribusi kondom kepada masyarakat, undang-undang jelas memberikan perlindungan terhadap anak. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak-anak harus dilindungi dari pengaruh dan kejahatan seksual. Menurut undang-undang ini, anak adalah individu yang berusia di bawah 18 tahun.

Terdapat pula ketentuan mengenai alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan. Pasal 408 UU Nomor 1 Tahun 2023 menyatakan, “Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I”.

Selanjutnya, Pasal 409 KUHP baru menyatakan, “Setiap orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.

Dengan demikian, jika PP 28/2024 ini diuji materiil di Mahkamah Agung, sangat besar kemungkinan akan dibatalkan.

Chandra Purna Irawan, Ketua LBH Pelita Umat, menegaskan bahwa peraturan ini sangat problematik dan bertentangan dengan peraturan lain yang sudah ada, sebagaimana dilansir oleh Media News pada 12 Agustus 2024. Selain itu, ia juga menyadari bahwa negeri ini masih menganut sistem kapitalisme dengan asas sekuler (pemisahan agama dari kehidupan), di mana agama tidak memiliki peran dalam mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh rakyat dan penguasa.

Sekularisme dibiarkan tumbuh subur, sementara rakyat yang ingin hidup sesuai dengan ajaran agamanya harus menghadapi penguasa dengan berbagai tuduhan dan persekusi. Ini adalah situasi yang menyedihkan.[]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.