Header Ads


Krisis Kepemimpinan di Barat: Pencalonan Kamala Harris dan Tantangan Global yang Muncul


IndonesiaNeo, NASIONAL - Pada tahun 2024, Kamala Harris secara resmi diusung oleh Partai Demokrat AS sebagai calon presiden. Ketua Komite Nasional Demokrat menyatakan bahwa Harris telah memperoleh dukungan yang cukup dari para delegasi untuk mengamankan pencalonannya sebagai kandidat presiden dari partai tersebut.

Aktivis Muslim Omar Khaleel Balkhi merespons pencalonan ini pada 8 Agustus 2024, dengan mengungkapkan bahwa Barat saat ini tengah menghadapi krisis kepemimpinan yang serius. Menurutnya, untuk memahami situasi ini, penting untuk melihat pemilu yang telah atau akan dilaksanakan di berbagai negara Eropa dan AS pada tahun 2024.

“Kita sepenuhnya menyadari bahwa kandidat yang maju dalam pemilu di Eropa dan AS sering kali dianggap tidak layak, baik karena masalah mental atau karena kurangnya ideologi yang kuat dan berbasis nilai, serta tidak memenuhi standar kepemimpinan politik,” ujarnya.

Di AS, Balkhi menjelaskan bahwa Biden, yang kini berusia 81 tahun, telah dipaksa mundur dari pencalonan presiden, sementara Kamala Harris didukung untuk melawan Donald Trump. Ironisnya, kata dia, para pemilih Amerika Serikat dihadapkan pada pilihan yang sulit, yakni “melompat dari panci ke dalam api”.

“Donald Trump dikenal sebagai sosok yang narsis dan ‘kacau’, sementara Kamala Harris dianggap tidak memiliki kemampuan kepemimpinan yang diperlukan untuk memimpin negara,” tambahnya.

Masalah serupa, lanjutnya, tidak hanya terlihat di Amerika Serikat, tetapi juga di Eropa. Ia mengacu pada hasil pemilihan legislatif di Prancis, di mana kemenangan koalisi sayap kiri menciptakan ketidakpastian mengenai masa depan politik negara itu.

“Lebih dari itu, kondisi ini menambah kompleksitas pemilihan perdana menteri berikutnya di negara-negara Eropa. Krisis kepemimpinan ini juga mempengaruhi Inggris, di mana empat perdana menteri telah berganti dalam kurun waktu empat tahun terakhir,” jelasnya.

Pasca-Brexit, lanjut Balkhi, Inggris masih kesulitan menemukan pemimpin politik yang tepat, namun hingga saat ini belum ada yang memenuhi harapan. Situasi ini, menurutnya, menandakan krisis kepemimpinan yang mendalam di dunia Barat.

“Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pemimpin-pemimpin saat ini di Eropa dan AS tidak sebanding dengan para pemimpin beberapa dekade lalu. Dari segi atribut kepemimpinan, efektivitas, pemahaman politik internasional, serta nilai-nilai Barat, mereka berada pada level yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pendahulu mereka,” tegasnya.

Hal ini, terangnya, dapat dilihat dari pidato dan agenda para pemimpin saat ini. Tampak jelas bahwa mereka tidak lagi memiliki nilai-nilai Barat yang dulu selalu ditekankan oleh negara dan para pemimpin terdahulu kepada dunia.

“Demikian pula, dalam hal ideologi yang berlandaskan nilai-nilai, karisma untuk memengaruhi lawan, serta kemampuan untuk menyatukan sekutu-sekutu Amerika, baik Donald Trump maupun Kamala Harris sangat berbeda dari presiden-presiden Amerika Serikat sebelumnya,” ujarnya.

Saat ini, Balkhi melanjutkan, Amerika menghadapi krisis kepemimpinan yang melibatkan sosok yang bermasalah secara mental, tidak berpengalaman, dan lelah, sehingga kredibilitas politik AS berada dalam risiko yang semakin besar. Ia menyamakan Biden sebagai simbol Amerika yang “lumpuh”, Trump sebagai simbol Amerika yang “gila”, dan Kamala Harris sebagai simbol karakter yang lemah dengan latar belakang yang “aneh”.

“Namun, pemerintahan Barat yang besar, termasuk AS, memiliki lembaga dan struktur yang dapat meredam dampak negatif dari kepemimpinan yang tidak populer ini sampai batas tertentu. Tetapi, karena lembaga-lembaga tersebut juga dikendalikan oleh tokoh-tokoh lemah yang sama, ada kemungkinan besar mereka juga akan menjadi lemah dan korup,” tambahnya.

Menurut Balkhi, krisis ini menunjukkan dengan jelas kemunduran dan keterbelakangan Barat. Ketika ideologi-ideologi mengalami degradasi, Barat kehilangan kemampuan untuk menghasilkan pemimpin yang efektif dan kini berada dalam posisi seperti itu.

“Sayangnya, para pemimpin di negeri-negeri Muslim telah berubah menjadi antek dari pemimpin-pemimpin Barat yang tidak kompeten dan lemah ini, dan mereka melayani mereka dengan sangat loyal,” ungkapnya dengan nada prihatin.

Di samping itu, ia menilai bahwa krisis kepemimpinan di Barat justru memberikan peluang besar bagi umat Islam untuk memanfaatkan krisis ini secara politis dan membebaskan diri dari pengaruh para pemimpin yang lemah tersebut.

“Dunia saat ini sangat membutuhkan pemimpin yang beriman, bertakwa, bijaksana, adil, dan gigih, yang tidak hanya memimpin umat Islam, tetapi juga menjadi panutan kepemimpinan bagi bangsa-bangsa lain. Tanpa diragukan lagi, Khilafah rasyidah kedua adalah yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin paling berani, paling bijaksana, dan paling adil di antara umat yang akan menyelamatkan dunia dari kejahatan zaman ini dan pemerintahan kapitalis Barat,” harapnya.

Ia kemudian menutup pernyataannya dengan mengutip QS Al-A’raf ayat 128.

"Musa meyakinkan kaumnya, 'Mintalah pertolongan Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi ini milik Allah semata. Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia pilih di antara hamba-hamba-Nya. Kesudahan hanyalah milik orang-orang yang bertakwa.'"[]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.