Header Ads


Lonjakan Islamofobia Global: Dampak Konflik Palestina-Israel dan Sentimen Anti-Islam di Barat


IndonesiaNeo, NASIONAL - Hingga pertengahan tahun 2024, organisasi Muslim di Amerika Serikat, Council on American and Islamic Relations (CAIR), telah menerima sebanyak 4.951 laporan terkait kejadian anti-Islam. Menurut laporan yang dirilis oleh lembaga tersebut, jumlah insiden islamofobia pada tahun 2024 meningkat hampir 70%.

Selain itu, data lain menunjukkan bahwa para aktivis hak asasi manusia (HAM) juga melaporkan peningkatan kasus islamofobia di seluruh dunia, yang sering kali muncul sebagai bias anti-Palestina dan antisemitisme, terutama setelah pecahnya konflik Palestina-Israel pada 7 Oktober 2023.

Aktivis HAM dan akademisi Jepang, Kayyim Naoki Yamamoto, mencatat bahwa sentimen anti-Muslim di Jepang meningkat pasca peristiwa 7 Oktober. Dalam penelitiannya, Yamamoto menjelaskan bahwa selama 15 tahun terakhir, Jepang telah menunjukkan sentimen anti-imigran (xenofobia) yang signifikan, namun setelah serangan tersebut, sentimen tersebut semakin fokus pada anti-Islam.

Yamamoto juga menyatakan bahwa dukungan Amerika Serikat terhadap Zion*s Yahudi selama ini telah berkontribusi pada berkembangnya sentimen anti-Palestina dan anti-Muslim di Jepang.

Aktivis muslimah Iffah Ainur Rochmah mengemukakan tiga alasan utama mengapa gelombang islamofobia atau anti-Islam semakin meningkat di negara-negara Barat.

"Pertama, meningkatnya kasus islamofobia ini disebabkan karena kelompok kulit putih di negara-negara Barat telah lama menikmati dominasi politik dan keistimewaan yang luar biasa, dan mereka khawatir akan adanya perubahan yang dapat menguntungkan umat Islam," ujar Iffah kepada MNews, Senin (12-8-2024).

Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa serangan terhadap umat Islam sering kali memicu simpati global, yang dianggap sebagai ancaman bagi posisi dominan Barat dalam politik.

“Seperti yang disampaikan oleh Imam masjid New York, Imam Samsi Ali, ada kedengkian yang mendalam dari masyarakat nonmuslim di Barat terhadap umat Islam, yang kini semakin terlihat dengan adanya kasus-kasus yang menimpa komunitas Muslim,” tambahnya.

Iffah juga menyoroti bahwa peristiwa 11 September 2001 digunakan oleh Barat sebagai momentum untuk melegitimasi serangan terhadap umat Islam di Amerika Serikat.

"Serangan Zion*s Yahudi terhadap Palestina juga dijadikan alat untuk membangun narasi yang mendukung tindakan mereka, seolah-olah apa yang dilakukan oleh Zion*s Yahudi adalah untuk mempertahankan diri," jelasnya.

Menurut Iffah, keberadaan keturunan Palestina atau Muslim di negara-negara Barat, termasuk Amerika, sering kali dianggap sebagai pendukung Ham*s dan penyerang Yahudi, sehingga menjadi pembenaran untuk melakukan serangan terhadap komunitas Muslim.

“Kedua, Barat memiliki trauma sejarah. Mereka tidak dapat mengingkari bahwa Islam pernah menjadi kekuatan dominan di dunia, yang memimpin dengan keadilan dan membawa rahmat bagi seluruh alam,” ungkap Iffah.

Ia juga menyebutkan bahwa Amerika Serikat pernah menerima bantuan dari Khilafah Islamiah pada masanya, dan hal ini tidak dapat dilupakan oleh masyarakat Amerika.

“Para pemikir Barat kini memprediksi bahwa Islam akan kembali berkuasa, dan ini adalah fakta yang tidak dapat dihindari,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Iffah menjelaskan bahwa mereka berusaha menutupi ketakutan ini dengan menunjukkan kebencian serta melakukan serangan sporadis terhadap umat Islam.

“Ketiga, pertarungan global antara Barat dan Timur saat ini telah menghasilkan kenyataan pahit bahwa dominasi keduanya di bidang ekonomi dan politik telah menyebabkan kerusakan besar,” paparnya.

Iffah menambahkan bahwa masyarakat global kini mencari sistem alternatif dan menantikan kehadiran kekuatan baru yang dapat memimpin dunia. “Kekuatan baru itu adalah Khilafah Islamiah,” tegasnya.

Menurut Iffah, kondisi politik saat ini telah menyebabkan kerusakan pada berbagai fasilitas publik, menghancurkan kemanusiaan, dan menciptakan masalah besar akibat intervensi Barat, yang semuanya mengarah pada kebutuhan mendesak akan kembalinya sistem politik Islam.

“Ini adalah kenyataan yang ingin diingkari oleh Barat dan negara-negara yang mengikuti jejak mereka, seperti Jepang. Mereka menutupi kenyataan tersebut dengan menunjukkan kebencian terhadap individu-individu Muslim, karena mereka tidak bisa menyangkal bahwa kekuatan politik Islam akan segera kembali,” ujarnya.

Iffah menekankan bahwa islamofobia tidak akan bisa diatasi hanya dengan menetapkan hari anti-islamofobia yang dicanangkan oleh PBB.

“Hari ini, dunia sangat membutuhkan kembalinya sistem Khilafah. Sebagai Muslim, kita harus lebih yakin lagi bahwa kembalinya sistem Islam adalah janji Allah SWT dan merupakan kewajiban yang harus diperjuangkan oleh umat Muslim,” pungkasnya.[]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.