Header Ads


Darurat Politik Dinasti, Pembegalan Demokrasi?

Oleh : Ummu Nasywah*)


IndonesiaNeo, OPINI - Sejak beberapa bulan terakhir, dinamika politik di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal itu dipicu oleh berbagai keputusan politik dan hukum yang kontroversial. Salah satu yang paling mencuat adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan batas usia minimal calon gubernur menjadi 30 tahun. Keputusan ini menimbulkan perdebatan sengit di kalangan masyarakat dan pengamat politik, karena dianggap sebagai langkah yang memperkuat politik dinasti. 

Selain itu, revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang sedang dibahas di DPR menambah ketegangan politik. RUU ini dianggap memberikan keleluasaan lebih besar kepada pemerintah pusat untuk campur tangan dalam pelaksanaan Pilkada, yang bisa membahayakan otonomi daerah. Sejumlah pihak mengkhawatirkan bahwa perubahan ini bisa menjadi alat politik untuk memperkuat kontrol elit tertentu terhadap proses demokrasi di daerah.

Di sisi lain, koalisi partai politik menjelang Pemilu 2024 juga menarik perhatian. Koalisi yang terbentuk menunjukkan dinamika politik yang cenderung pragmatis, di mana kepentingan kekuasaan menjadi pertimbangan utama, mengesampingkan ideologi atau visi jangka panjang yang lebih substantif. Fenomena ini turut menambah kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi di Indonesia, dimana proses politik lebih banyak didorong oleh kepentingan elit ketimbang kepentingan rakyat.

Fenomena politik dinasti menjadi isu krusial dalam konteks demokrasi di Indonesia. Politik dinasti mengacu pada praktik politik dimana kekuasaan politik cenderung diwariskan atau dikuasai oleh keluarga atau kelompok tertentu, tanpa mempertimbangkan kompetensi atau rekam jejak. Keputusan MK yang menurunkan batas usia minimal calon gubernur ke 30 tahun semakin memperkuat peluang terjadinya politik dinasti, mengingat banyak anak-anak politisi senior yang akan memenuhi kriteria usia tersebut.

Keputusan ini bukan hanya menciderai prinsip meritokrasi dalam politik, tetapi juga bisa dilihat sebagai pembegalan terhadap proses demokrasi yang sehat. Dalam demokrasi yang ideal, setiap individu seharusnya memiliki peluang yang sama untuk terjun ke dunia politik, asalkan memenuhi syarat kompetensi dan integritas. Namun, ketika politik dinasti semakin menguat, peluang tersebut menjadi semakin sempit bagi mereka yang tidak berasal dari kalangan elit politik. Politik dinasti, pembegalan otonomi daerah, dan pragmatisme koalisi partai di anggap sebagai tanda-tanda dari demokrasi yang sedang terancam oleh kepentingan elit. Jika dibiarkan tanpa ada koreksi, dianggap kondisi ini bisa membawa Indonesia pada masa depan politik yang semakin jauh dari prinsip-prinsip demokrasi yang sejati. 

Masyarakat Indonesia menganggap perlu ada upaya bersama dari seluruh elemen masyarakat untuk menjaga dan memperkuat demokrasi, agar tetap menjadi sistem yang adil dan inklusif bagi semua. Hanya dengan demikian, demokrasi di Indonesia bisa bertahan dan berkembang sesuai dengan harapan rakyat. Karena itu, muncullah tagar viral di media sosial yaitu “Darurat Peringatan” berlatar belakang garuda biru, serta mahasiwa bersama tokoh-tokoh masyarakat turun ke jalan melakukan demonstrasi.


Ilusi Demokrasi: Politik Dinasti dan Kebijakan MK

Ketika MK memutuskan untuk menurunkan batas usia minimal calon gubernur menjadi 30 tahun, banyak yang mengkritik langkah ini sebagai upaya yang justru memperkuat politik dinasti. Di permukaan, keputusan ini mungkin terlihat seperti langkah progresif yang memungkinkan lebih banyak kaum muda terlibat dalam politik. Namun, jika dilihat lebih mendalam, ini sebenarnya membuka peluang bagi anak-anak elit politik untuk menduduki jabatan-jabatan penting dengan lebih mudah, tanpa melalui proses pembuktian kompetensi yang semestinya.

Dalam konteks ini, apa yang disebut sebagai demokrasi menjadi sekadar alat bagi elit untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Rakyat yang seharusnya menjadi pusat dalam demokrasi, justru dipinggirkan dan menjadi objek manipulasi politik. Demokrasi, dalam pengertian ini, hanyalah ilusi, sebuah panggung dimana aktor-aktor politik memperlihatkan retorika inklusif, namun kenyataannya kekuasaan tetap berada di tangan segelintir orang.

Revisi UU Pilkada yang sedang dibahas di DPR juga menambah daftar panjang bukti bahwa demokrasi di Indonesia sering kali hanya menjadi tameng bagi kepentingan elit. Revisi ini memberi wewenang lebih besar kepada pemerintah pusat untuk mengintervensi proses Pilkada di daerah, yang berpotensi mengikis otonomi daerah. Padahal, otonomi daerah adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi yang memungkinkan daerah untuk mengatur dirinya sendiri sesuai dengan kebutuhan lokal.

Namun, dengan revisi ini, pemerintah pusat dapat lebih mudah mengontrol hasil Pilkada, sehingga demokrasi di tingkat lokal semakin tergeser oleh kepentingan politik pusat. Ini menunjukkan bahwa proses demokrasi sering kali disusupi oleh kepentingan elit yang ingin mengendalikan kekuasaan, bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan demi melanggengkan dominasi mereka.

Koalisi partai politik yang terbentuk menjelang Pemilu 2024 semakin memperlihatkan bahwa demokrasi di Indonesia lebih didorong oleh pragmatisme daripada prinsip. Koalisi ini tidak didasari oleh ideologi atau visi jangka panjang untuk kesejahteraan rakyat, tetapi lebih pada kepentingan kekuasaan. Koalisi yang terbentuk cenderung bersifat transaksional, dimana posisi politik diperdagangkan demi mendapatkan kekuasaan.

Pragmatisme yang mendominasi ini juga menguatkan persepsi bahwa demokrasi di Indonesia hanya menjadi ajang permainan elit, dimana rakyat hanya sekadar menjadi penonton. Demokrasi yang seharusnya menjamin partisipasi rakyat secara substantif dalam pengambilan keputusan politik, malah berubah menjadi sarana elit politik untuk mengakumulasi kekuasaan mereka.


Demokrasi sebagai Sistem Buatan Manusia

Demokrasi adalah sistem buatan manusia yang bertentangan dengan prinsip Islam.  Demokrasi memberi wewenang kepada manusia untuk membuat hukum. Padahal, dalam Islam, hukum hanya milik Allah Swt. Oleh karena itu, demokrasi dianggap sebagai sistem yang cacat sejak awal, karena mengabaikan kedaulatan Allah dan menggantinya dengan kedaulatan manusia.

Sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia hanyalah kedok untuk mempertahankan kekuasaan elit. Mereka berpendapat bahwa sistem ini tidak mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan yang sejati, karena didasarkan pada sekularisme dan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan syariah Islam. Demokrasi dianggap telah menciptakan kesenjangan antara elit dan rakyat, dimana hukum dan kebijakan dibuat untuk kepentingan segelintir orang, bukan untuk kemaslahatan umat.

Fenomena politik dinasti yang semakin menguat setelah putusan MK dan revisi UU Pilkada, adalah contoh nyata dari bagaimana demokrasi sekuler gagal menciptakan keadilan.  Politik dinasti adalah konsekuensi dari sistem yang memberi kebebasan kepada individu untuk berkuasa tanpa memperhatikan hukum Allah. Sistem ini memungkinkan elit untuk terus-menerus memegang kendali, meskipun mereka mungkin tidak memiliki kemampuan yang diperlukan untuk memimpin.


Syariat Islam  Solusi Hakiki

Dalam Islam kekuasaan berada di tangan seorang Khalifah yang menerapkan hukum syariah. Dalam sistem Khilafah, kekuasaan tidak diwariskan atau didasarkan pada keluarga, tetapi pada kemampuan dan ketaatan kepada hukum Allah. Khilafah dianggap sebagai satu-satunya sistem yang dapat mewujudkan keadilan sejati, karena tidak didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok, melainkan pada perintah Allah.

Alhasil, hanya dengan penerapan syariah secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah, umat Islam dapat terbebas dari ilusi demokrasi yang menipu dan mencapai kesejahteraan yang hakiki.

Wallahu a'lam


*) Pegiat Literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.