Header Ads


Gurita Impor Produk Cina, Tekstil Lokal Menderita

Oleh : Nining Julianti, S.Kom*)


IndonesiaNeo, OPINI - Gempuran produk impor China tengah menghantui Indonesia belakangan ini. Barang-barang tersebut menguasai pasar modern dan pasar tradisional.  Mereka menawarkan barang dengan begitu menarik serta harga sangat miring. 

Tidak bisa dipungkiri akibatnya banyak perusahaan garmen saat ini  yang gulung tikar karena masyarakat lebih  memilih produk dari luar karena harganya lebih murah dan model  bervariasi.  Berbagai pihak kemudian mendesak pemerintah untuk pemberantasan impor ilegal. Hingga pemerintah melalui Kementerian Perdagangan membentuk satuan tugas (satgas) pemberantas impor ilegal. 

Satgas pun akan fokus pada tujuh komoditas, yakni tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, keramik, elektronik, kosmetik, barang tekstil jadi, dan alas kaki. (cnnindonesia.com,17-7-2024).


Efektifkah Satgas?

Berbeda dengan Kementerian yang  berusaha mengatasi masalah dengan Satgas, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) justru menilai pemerintah kurang tegas. Menurut INDEF pemerintah enggan mengambil risiko besar untuk menyelamatkan industri tekstil. Lebih lanjut, berdasarkan analisis yang dilakukan INDEF terhadap respons masyarakat di media sosial X, ditemukan sebanyak 64,09 persen warganet tidak percaya dengan satuan tugas (satgas) impor efektif untuk mengatasi impor ilegal. Pasalnya, berkaca dari kebijakan pembentukan satgas sebelumnya, hal tersebut dinilai tidak memberikan efek signifikan. 

Masih dari laman cnnindonesia di atas, pihak Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) pun sependapat dengan INDEF. API mengkritik sikap pemerintah yang mengandalkan Satgas untuk tindakan penanganan. Bahkan terlihat seolah telah menjadi kebiasaan buruk bagi pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah lemah dalam koordinasi birokrasi.    Pembentukan satgas hanya dilakukan demi menyenangkan publik sebab belum pernah satgas yang dibentuk pemerintah benar-benar menghasilkan penuntutan penindakan hukum.

Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat pertumbuhan industri tekstil terkontraksi minus 2,63 persen secara kuartalan pada kuartal II 2024. Sementara, secara tahunan (Yoy) pertumbuhan industri tekstil terkontraksi 0,03 persen.

Bahkan mirisnya sepanjang Januari hingga Juni 2024, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 13.800 buruh pabrik tekstil buntut maraknya produk impor yang harganya lebih murah.

Kondisi ini jika semakin dibiarkan justru semakin mengukuhkan liberalisasi pasar. Padahal bukan rahasia lagi, banjir impor tidak akan terjadi  tanpa keberpihakan pemerintah yang telah membuka kran impor bagi para pengusaha importir. Dengan dalih akan mendatangkan keuntungan dari bea  impor.  Peran penguasa yang harusnya melindungi perputaran bisnis rakyat dinilai tidak sungguh-sungguh dalam menyelesaikan masalah ini.  Belum lagi tantangan lainnya yaitu turunnya daya beli masyarakat.  Meski penduduk miskin pada Maret 2024 diklaim turun sebanyak 0,68 juta orang dibanding tahun lalu, tetap saja jumlahnya tahun ini masih sebesar 25,22 juta orang. Ini bukan jumlah yang sedikit karena merepresentasikan 9% dari total penduduk negeri ini.

Kondisi masyarakat akhirnya semakin terpojok dengan kondisi ekonomi yang kian turun, diperburuk dengan fakta pahit PHK.  Untuk melakukan usaha mandiri pun mereka kalah bersaing dengan produk asing. Beginilah jika sistem ekonominya masih berasal dari  kapitalisme yang hanya mengenal mekanisme perdagangan bebas. Karakteristik ini sejatinya menginginkan hilangnya kontrol negara. Tampak nyata tingginya angka impor hanya menguntungkan para eksportir bukan rakyat secara luas. 


Liberalisasi Pasar Bukti Kegagalan Kapitalisme

Jelas terlihat kegagalan kapitalisme dalam menjaga daya beli dan tingkat ekonomi warga, serta iklim  bisnis dan industri padat karya. Ketika pemerintah “membiarkan” produk impor membanjir, ini menegaskan arah keberpihakannya kepada pengusaha importir, bukan kepada pengusaha industri padat karya di dalam negeri, apalagi kepada masyarakat luas. Negara yang harusnya melindungi dan menjamin kebutuhan rakyat bukan lagi menjadi prioritas. 

Oleh karena itu, solusi penerapan syariah Islam kafah di bawah naungan Khilafah adalah solusi mendasar bagi perlindungan ekonomi warga. Di satu sisi, warga Khilafah tidak akan dikotak-kotakkan berdasarkan kelas ekonominya, karena semua rakyat berhak mendapatkan jaminan dari negara. Khilafah menjamin ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan warganya secara individu per individu, tanpa kecuali.

Negara dalam pandangan Islam akan berperan dalam menjamin berlangsungnya berbagai aktivitas transaksi ekonomi warga serta menyuburkan iklim muamalah/bisnis yang kondusif bagi mereka, tentu dengan cara-cara yang dibenarkan syariat. 

Alhasil Islam memang solusi. Namun menerapkannya tak semata karena hal itu tapi yang lebih utama karena hal tersebut merupakan konsekuensi iman. Wallahua’lam.[]



 *) Relawan Opini Kota Kendari

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.