Header Ads


Maulid Nabi: Mengikuti Jejaknya, Melanjutkan Visinya

Oleh : Teti Ummu Alif*)


IndonesiaNeo, OPINI - Bulan Rabiul Awal atau lebih dikenal dengan bulan Maulid kembali menyapa kaum Muslim di seluruh penjuru Bumi. Tahun ini Maulid Nabi bertepatan dengan 15 September 2024. Gegap gempita menyambut bulan ini begitu terasa. Pengajian dan tasyakuran bertebaran dimana-mana. Ya, peristiwa Maulid Nabi adalah momentum penting bagi umat Islam untuk mengenang kelahiran sosok manusia termulia penerang kehidupan, penerang langit dan bumi, pembawa rahmat bagi semesta.

Baginda Nabi lahir bertepatan dengan Pasukan Gajah Raja Abrahah yang dipimpin oleh Panglima Abu Rughal. Saat itu, mereka ingin menghancurkan Ka’bah. Namun, pasukan tersebut gagal dan diluluhlantakkan oleh makhluk kecil yang dipandang lemah, Burung Ababil. Burung-burung tersebut menghujani mereka dengan batu kecil panas dan pijar. Saat Rasulullah lahir, api yang menyala ratusan tahun, api sembahan kaum Majusi, tiba-tiba padam. Berbagai peristiwa lainnya menjadi tanda sinar fajar kehidupan dan kejayaan Islam.

Tentu kenangan kelahiran beliau bukanlah sekadar nostalgia masa lalu atau reuni spiritual. Justru momentum ini kita jadikan untuk memperkuat semangat perjuangan, semangat jihad dalam menegakkan kalimat Allah Taala. Dengan kembali mengenang kelahiran Rasulullah, kita akan terbayang jerih payah perjuangan beliau bersama para sahabat dalam merintis dan menata peradaban Islam.

Mengingat kelahiran Nabi jelas bukan untuk merayakan ulang tahun beliau. Mengenang momentum kelahiran beliau adalah upaya memfokuskan kembali mata batin kita pada sosok manusia yang paling berjasa dalam hidup dan peradaban. Tidak lain agar kita menjadikan beliau sebagai satu-satunya contoh alias role model dan uswah terbaik dalam menapaki ragam sisi kehidupan. Sungguh dalam diri Rasulullah terdapat suri teladan dalam berkeluarga, dalam memimpin masyarakat dan negara, juga dalam ragam aspek kehidupan lainnya. Beliau ibarat batu permata yang indah. Dilihat dari sisi mana saja beliau  memunculkan cahaya berkilau yang indah. 

Allah Swt berfirman, 

"Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir dan ia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab [33]: 21). 

Baginda Nabi adalah manusia dengan akhlak terbaik. Aisyah ra. menyebut akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Aisyah ra. juga berkata, 

“Rasulullah adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Tidak pernah berlaku keji. Tidak mengucapkan kata-kata kotor. Tidak berbuat gaduh di pasar. Tidak pernah membalas dengan kejelekan serupa. Akan tetapi, beliau pemaaf dan pengampun.” (HR Ahmad).

Seyogianya, mencintai Nabi bukan hanya sebatas kata pemanis tak bermakna. Akan tetapi, cinta itu harus dibuktikan dengan dua cara. Pertama, yang paling sederhana dengan selawat kepada Baginda Nabi saw. Selawat adalah perintah Allah Swt. yang diartikan Imam Al-Asqalani sebagai permohonan kepada Allah untuk memuliakan Nabi dalam memenangkan agama-Nya.

Dalam hadis riwayat Muslim, dikatakan dalam selawat itu kebaikannya kembali kepada kita, 

“Barang siapa yang berselawat kepadaku (Nabi) sekali, maka Allah akan berselawat untuknya sepuluh kali.” 

Bahkan, dalam riwayat Thabrani dikatakan, 

“Barang siapa berselawat kepadaku pada pagi hari sepuluh kali dan petang hari sepuluh kali, maka ia akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.”

Kedua, yang paling utama adalah ittiba’ kepada Nabi dan ini sekaligus juga bukti cinta kita kepada Allah sebagaimana dalam surah Ali Imron ayat 31, Allah berfirman, 

“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa orang mengaku cinta kepada Allah, tetapi tidak ittiba’ kepada Nabi dengan ittiba’ yang benar, artinya tidak mengikuti perintah dan larangan-Nya, maka orang itu disebut sebagai kadzdzib atau pendusta. 

Dengan ittiba’ ini, kita harus meyakini seperti yang diyakini oleh Nabi, yaitu Islam, cara berpikirnya seperti yang diajarkan Nabi, kemudian berperilaku sebagaimana diajarkan oleh Nabi, baik menyangkut masalah ibadah, makanan, minuman, pakaian, muamalah, akhlak. Muamalah, di dalamnya ada ekonomi, politik, sosial, budaya, dan seterusnya. Artinya, harus secara totalitas. Ini karena Nabi dalam seluruh kehidupannya, selalu terikat kepada Islam. Itulah makna haqqul ittiba’. 

Oleh karena itu, penting untuk direnungkan bahwa hari ini agama dianggap sekadar simbol, sedangkan substansinya tidak dipegang dan tidak diamalkan. Akibatnya, ada banyak paradoks, seperti diperingati hari kelahirannya, tetapi diabaikan syariatnya, disisihkan risalahnya, dicemooh syariatnya. Sedangkan yang berjuang menegakkan syariat dan risalah yang diajarkan Nabi malah dipersekusi dan dikriminalisasi. Bukankah itu sama dengan pembohong?

Sesungguhnya, Rasulullah pernah menjadi pemimpin negara dan mengatasi persoalan-persoalan masyarakat. Namun, ada yang menempatkan Nabi saw sebagai orang biasa, seolah Nabi adalah politikus yang ada pada masa lalu, bukan Nabi. Padahal, Nabi itu di dalam perkataan, perbuatan, dan keputusannya mengandung makna bahwa ia bukan orang biasa. 

Allah berfirman, 

“Aku tidak utus engkau, kecuali untuk ditaati dengan izin Allah.”

Artinya, Nabi itu diutus dan ada konsekuensi hukum. “Kalau tidak mengikuti Rasul, terus mengikuti siapa? Apakah ada jaminan kalau tidak mengikuti Rasul, ada kebaikan? Karena kalau tidak mengikuti Nabi, lepas dari ketentuan Allah, pasti akan tersesat. Kalau tersesat, pasti akan celaka. Ini dibuktikan dengan adanya kerusakan moral, kriminalitas, korupsi, ketidakadilan, juga kesenjangan ekonomi. 

Untuk itu, Nabi berkata, 

“Aku tinggalkan dua perkara yang kalau kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul.” 

Hal itu merupakan jaminan dari Allah, jelasnya, bukan hanya sekarang, nanti, atau esok, tetapi selama-lamanya. Maka kita harus memahami bahwa tidak ada contoh terbaik dari berjuang dalam dakwah Islam, kecuali Nabi, baik itu dalam sifat dan karakternya yang selalu berdasarkan Islam, untuk Islam, kemudian lilLah, bilLah, filLah, juga istikamah. Wallahu a'lam.[]

*) Pemerhati Masalah Umat

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.