Header Ads


Otak-Atik Dana Pendidikan, Hak Rakyat Terus Dipertanyakan?

Oleh: Nurdianti Jahidin*)


IndonesiaNeo, OPINI - Menyoal pendidikan di negeri ini memang selalu memunculkan banyak polemik. Mulai dari sistem pendidikan, kurikulum, kualitas, hingga pembiayaan pendidikan selalu menjadi topik yang hangat diperbincangkan.

Baru-baru ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengusulkan agar anggaran wajib (mandatory spending) untuk pendidikan sebesar 20 persen dari belanja negara dikaji ulang. Menurutnya, belanja wajib 20 persen tersebut seharusnya dialokasikan dari pendapatan negara, bukan belanja negara. Hal ini karena belanja negara dinilai cenderung tidak pasti (CNNIndonesia, 04/09/2024).

Usulan dari Menkeu Sri Mulyani ini menuai banyak pro dan kontra dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Ketua Komisi X DPR RI, Saiful Huda. Ia dengan tegas menolak usulan tersebut. Menurutnya, jika anggaran pendidikan diambil dari pendapatan negara, akan timbul masalah baru. Huda juga berpendapat bahwa potensi penurunan anggaran pendidikan bisa mencapai ratusan triliun, bahkan hingga Rp130 triliun.

Lebih lanjut, Huda menambahkan bahwa usulan tersebut akan berdampak negatif terhadap kualitas layanan pendidikan di Indonesia. Dengan anggaran yang ada saat ini saja, masih banyak anak yang terkendala biaya untuk sekolah, dan pemerataan pendidikan masih menjadi masalah (RRI.co.id, 08/09/2024).

Selain itu, Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), merespons wacana Menkeu Sri Mulyani dengan mengkritik kebiasaan pemotongan anggaran pendidikan. Menurutnya, jika kebiasaan tersebut berlanjut, pendidikan tidak akan semakin membaik, dan anggaran pendidikan akan terus tidak mencukupi. JK menekankan bahwa tugas utama saat ini adalah menggunakan anggaran pendidikan seefektif mungkin (RRI.co.id, 08/09/2024).


Minimnya Dana Pendidikan

Dalam sistem kapitalisme, pemerintah menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Selain itu, pendanaan pendidikan juga dilakukan melalui APBD. Diketahui bahwa pemerintah menetapkan anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun pada APBN 2024.

Anggaran pendidikan sebenarnya sangat terbatas jika hanya 20 persen dari APBN yang saat ini berlaku. Dana tersebut harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan, tidak hanya untuk penyelenggaraan pendidikan di bawah Kemendikbudristek, tetapi juga dibagi ke beberapa kementerian lain yang memiliki program terkait pendidikan.

Carut-marut pembiayaan pendidikan ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah cita-cita besar menuju Indonesia Emas 2045 dapat terwujud?

Minimnya pembiayaan pendidikan, ditambah pengalokasian yang tidak merata, berdampak langsung pada kualitas pendidikan. Banyak sekolah yang tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai, bangunan sekolah yang tidak layak, kekurangan tenaga pendidik, serta guru-guru dengan honor yang sangat rendah. Tak sedikit pula anak-anak yang tidak dapat mengakses pendidikan.

Jika dana pendidikan yang sudah minim ini dikurangi, maka akses masyarakat terhadap pendidikan akan semakin sulit.


Negara Lepas Tanggung Jawab

Minimnya dana pendidikan serta wacana pengurangan dana pendidikan yang diambil dari pendapatan negara menunjukkan bahwa negara semakin lepas tangan dari kewajibannya untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas dan mudah diakses.

Hal ini terjadi karena penerapan sistem kapitalisme di setiap sektor, termasuk sektor pendidikan. Negara mengelola pendidikan dengan paradigma bisnis, di mana pemerintah berperan sebagai pedagang, dan rakyat sebagai pembelinya. Mirisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi kewajiban negara, justru diperjualbelikan, dan rakyat dipaksa "membeli" hak mereka sendiri.

Dalam sistem kapitalisme, komersialisasi pendidikan adalah sesuatu yang sah. Pendidikan dijadikan sebagai ladang bisnis yang menguntungkan, dengan banyaknya pihak swasta yang mendirikan sekolah berkualitas namun berbiaya mahal. Akibatnya, banyak masyarakat yang memilih sekolah swasta yang lebih baik, sementara sekolah-sekolah negeri masih kurang memadai, ditambah kebijakan zonasi yang tidak diikuti dengan perbaikan kualitas pendidikan.

Ketidakpedulian negara terhadap pendidikan juga terlihat dari perubahan status perguruan tinggi dari PTN menjadi PTN BH, yang berarti kampus harus mandiri dalam pembiayaannya. Hal ini memungkinkan kampus bekerja sama dengan pihak swasta dan menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) demi mendapatkan keuntungan.

Pada dasarnya, orientasi penguasa dalam sistem kapitalisme adalah keuntungan. Penguasa tidak bertindak sebagai pelayan rakyat, melainkan melayani kepentingan kapitalis, dengan berperan sebagai regulator yang memuluskan kepentingan pemilik modal. Akibatnya, kepentingan rakyat bukanlah prioritas.


Pendidikan dalam Islam

Islam memiliki aturan yang komprehensif dalam semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Artinya, pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan menjadi kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan yang mudah diakses, gratis, dan berkualitas.

Negara Islam harus memastikan bahwa setiap warga, baik Muslim maupun non-Muslim, kaya atau miskin, mendapatkan pendidikan yang layak. Negara juga harus memastikan bahwa semua sekolah dan perguruan tinggi memiliki kualitas yang setara, baik di kota, desa, maupun pedalaman, tanpa perbedaan dalam hal sarana prasarana dan tenaga pendidik. Kurikulum yang diterapkan juga harus berbasis syariat Islam, yang memperkuat akidah dan membentuk kepribadian Islam.

Dalam Islam, pendidikan tidak dijadikan sebagai komoditas bisnis. Negara tidak akan memungut biaya dari rakyat untuk pendidikan. Namun, negara memberikan kebebasan bagi siapa saja yang ingin berwakaf dalam bidang pendidikan, pengembangan ilmu, dan riset.

Dalam hal pembiayaan pendidikan, Islam memiliki sistem ekonomi yang kuat. Dana pendidikan diambil dari Baitul Mal, yang bersumber dari pos fai’, kharaj, serta dari milkiyyah ‘ammah. Selain itu, dana pendidikan juga bisa berasal dari wakaf pendidikan oleh rakyat yang kaya dan mencintai ilmu.

Begitulah skema pembiayaan pendidikan dalam Islam. Negara sangat memperhatikan hak-hak dan kebutuhan rakyatnya. Penguasa dalam negara Islam memahami bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah SWT, yang harus dijalankan dengan melayani serta melindungi rakyat, dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atasnya.


Khatimah

Polemik terkait pendidikan akan terus berlangsung selama kita masih menerapkan sistem kapitalisme sekuler. Sistem inilah yang menjadi akar dari segala kerusakan umat saat ini. Hanya dengan penerapan sistem Islam, semua masalah dapat diselesaikan. Sistem pendidikan akan berjalan dengan baik, melahirkan ulama-ulama besar, ilmuwan-ilmuwan hebat, mujahid, penguasa yang adil, serta generasi yang membawa Islam menuju puncak kejayaan. Hal ini telah terbukti dalam sejarah kejayaan Islam di masa lalu. Wallahu a'lam bishawab.[]


*) Muslimah Kolaka Timur

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.