Header Ads


Politik Gelitik

(Opsi Demokrasi Vs Obligasi Islam)  

Oleh: Abu Jihad FS)***


Mukadimah

IndonesiaNeo, OPINI - PASCA-Pilpres tensi politik tetap tinggi di Indonesia.  Pasalnya, utak-atik kuasa masih terjadi hingga ke daerah. Bagaimana potensi politik Islam?

Pragmatisme masih menjadi identitas politik di Indonesia. Terbukti konfigurasi setelah Pileg dan Pilpres, kacau balau.

Seperti diketahui, dalam Pilpres, tiga koalisi sesuai pasangan calon yang diusung. Masing-masing, Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar diusung Partai Nasdem, PKS, PKB, dan Partai Ummat.

Berikutnya, Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengusung Prabowo-Gibran. Mereka diusung, Partai Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Gelora, Garuda, Prima, dan PSI.

Terakhir, Ganjar Pranowo-Mahfud MD diusung koalisi PDIP, Hanura, PPP, dan Perindo. 


Pragmatisme 

Dalam Pilkada, menarik memperhatikan dinamikan politik di Pilgub Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Upaya untuk menjegal Anies dilakukan dengan segala cara. *1)

Mulai dari berubahnya peta koalisi Pilpres. KIM berubah menjadi KIM Plus dengan bergabungnya PKS, Nasdem, PKB, PPP, dan Perindo.

Nyaris Pilkada jalur Parpol hanya diikuti satu Paslon, Ridwan Kamil-Suswono (Rawon). 

Namun setelah Mahkamah Konstitusi (MK) melahirkan putusan No. 60 tentang ambang batas Parpol pengusung, dan putusan No. 70 tentang batas usia minimal calon, politik kembali mengalami kontraksi. 

Ditandai dengan sikap DPR RI yang melakukan revisi secara kilat Undang Undang Pilkada. Walaupun terhenti karena mendapatkan penolakan keras dari masyarakat. 

Mulai dari blue screen peringatan darurat disejumlah platform media sosial (Medsos). Hingga akhirnya menimbulkan gelombang protes, demonstrasi disekitar 40 kota di Indonesia.     

Apakah putusan MK sesuai harapan? Rupanya tidak. Publik masih kecewa. Barometernya tidak lolosnya Anies dalam Pilgub DKJ. Bahkan peristiwanya disebut sebagai Hari Patah Hati Nasional.

Persoalan lain, lahirnya figur kandidat kepala daerah diduga secara transaksional. Untuk mendapatkan pintu partai, ditengarai butuh mahar politik. Nilai tawar untuk setiap kursi bisa mencapai ratusan hingga miliaran rupiah. *2) 

Belum termasuk cost politik lainnya untuk atribut, dan “logistik” saat coblosan. Bisa dibayangkan berapa dana yang harus dirogoh dari kocek.

Ditambah lagi dengan biaya Pilkada serentak di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota pada 27 November nanti.  Tenaga Ahli Kemendagri Suhajar Diantoro menyebut bahwa penganggaran untuk Pilkada Serentak 2024 sudah selesai. Secara keseluruhan, total anggaran untuk KPU mencapai Rp 28,76 triliun, sementara untuk Bawaslu mencapai sebanyak Rp 8,63 triliun. Angka ini masih belum termasuk anggaran untuk keamanan.*3) 

Apakah hasilnya nanti sesuai harapan? Tidak.

Siap-siap rakyat akan kecewa lagi. Selama sistem politik masih menggunakan demokrasi, umat masih akan kecewa. Tiap lima tahun mereka terus di-PHP (Pemberi Harapan Palsu) oleh demokrasi.

Parpol yang digambarkan menjadi saluran aspirasi rakyat, nyaris tak berfungsi. Bisa dikatakan semuanya dikooptasi kekuasaan.

Sejatinya Parpol menjalankan lima fungsi yakni, aspirasi, agregasi, representasi, integrase, dan edukasi. Nyatanya tak berjalan, kalah dengan pragmatisme.

Maka itu, umat harus punya agenda politik sendiri. Jangan mau terkontaminasi dengan selain Islam.

Perlu diketahui, berdasarkan sejarah perkembangan pemerintahan di muka Bumi, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang lebih moderen dibanding demokrasi. Khilafah akar sejarahnya dari Islam, sedangkan demokrasi dari sekularisme.

Konsep demokrasi dan konstitusi sebagai bentuk pemerintahan bermula di Athena Kuno sekitar 508 SM. Di Yunani kuno tempat berdirinya banyak negara kota dengan berbagai bentuk pemerintahan, demokrasi ditanding dengan bentuk pemerintahan yang dikendalikan segelintir orang terkemuka (aristokrasi), oleh satu orang (monarki), oleh tiran (tirani), dsb.

Sementara Khilafah yang pertama dipimpin Khalifah Abu Bakar, berkuasa sejak tanggal 8 Juni 632 M (11 H) – 22 Agustus 634 M (13 H) (2 tahun, 76 hari). 

Artinya konsep Khilafah jauh lebih moderen ketimbang demokrasi. 

Terbukti, demokrasi mahal, menghasilkan kepala daerah yang jauh dari harapan. Bahkan mantan Wapres Jusuf Kalla menyebut kepala daerah zaman Soeharto lebih berkualitas dibanding sekarang. *4) 

Beda dengan Islam. Hampir tidak membutuhkan biaya politik untuk memilih kepala daerah (baca: wali dan amil), karena ditunjuk langsung oleh Khalifah. Produknya pun menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.    


Politik Islam

Politik dalam Islam adalah riayah atau mengurus urusan umat, urusan dalam dan luar negeri dengan Islam. Di dalamnya ada dua hal, negara dan umat. Tugas negara mengurus umat, sedangkan umat melakukan kontrol kepada negara.

Parpol sebagai institusi pemikiran bertugas untuk memberikan kesadaran kepada umat menggunakan cara pandang Islam. Parpol harus menjalankan fungsinya. 

Umat harus mempunyai kemampuan berpikir politik. Pertama, melihat fakta. Kedua, memahami fakta tersebut. Ketiga, mengetahui lingkungan sekitar fakta tersebut. Keempat, mengaitkan ketiga hal tersebut.

Dengan demikian, umat memiliki kesadaran politik. Kesadaran politik tidak lain adalah pandangan terhadap dunia dengan sudut pandang khusus. Bagi umat Islam, sudut pandangnya adalah akidah Islam, yaitu sudut pandang Laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda sebagai berikut: 

عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ” أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة , فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الله تعالى

Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan laa ilaaha illallaah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Barangsiapa telah mengucapkannya, maka ia telah memelihara harta dan jiwanya dari aku kecuali karena alasan yang hak dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah Ta’ala.” [Bukhari no. 25, Muslim no. 22]


Khatimah

Umat membutuhkan pemahaman politik Islam. Dengan demikian mereka tidak mudah digiring untuk kepentingan sesaat yang sesat.

Alhasil mabda Islam mesti dijalankan jika ingin meraih keuntungan.     

وَمَنۡ يَّبۡتَغِ غَيۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِيۡنًا فَلَنۡ يُّقۡبَلَ مِنۡهُ‌ ۚ وَهُوَ فِى الۡاٰخِرَةِ مِنَ الۡخٰسِرِيۡنَ

Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.(Ali Imran: 85).(**)


*1) https://nasional.tempo.co/read/1902565/berpotensi-dijegal-maju-di-pilkada-jakarta-anies-singgung-fenomena-partai-tunduk-ke-satu-dua-orang

*2) https://rakyatsulsel.fajar.co.id/2024/05/16/mahar-politik-sandera-cakada/ 

*3) https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/pilkada-serentak-2024-alur-data-dan-tren-sosial-politik

*4) https://rmol.id/politik/read/2024/07/03/626751/jusuf-kalla-kepala-daerah-zaman-soeharto-lebih-berkualitas-dibanding-sekarang

 ***) Khadim Majelis Nafsiyah Islamiyah (MNI) Kepulauan Buton


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.