Header Ads


Polemik Sertifikasi Halal, Labelisasi Hanya Sebatas Formalitas?

Oleh: Teti Ummu Alif*)


IndonesiaNeo, OPINI - Belum lama ini, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama (BPJPH Kemenag) kembali menuai kontroversi ditengah masyarakat. Pasalnya,  beredar sebuah video yang memaparkan sejumlah nama produk dengan nama 'tuyul', 'tuak', 'beer', dan 'wine' yang mendapat sertifikat halal (detik.com 1/10/2024).

Menanggapi hal tersebut MUI mengonfirmasi bahwa temuan itu valid setelah mengklarifikasi, dan mengecek perihal tersebut. Pihaknya, menegaskan bahwa sesuai standar MUI, penamaan produk dengan nama-nama tersebut itu tidak dibenarkan. Diketahui, dari hasil investigasi MUI, produk-produk tersebut memperoleh sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur Self Declare. MUI menyebut penetapan halal produk tersebut tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI, sehingga MUI tidak bertanggung jawab atas klaim halal produk tersebut. 

Sementara itu, pihak BPJPH menyatakan bahwa  memang ada produk dengan nama-nama yang tidak sesuai aturan. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin menjelaskan, produk menggunakan kata “wine” yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 61 produk, dan 53 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa Kemenag. Contoh yang lain, produk dengan nama menggunakan kata “beer” yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah delapan produk. Sebanyak 14 produk, sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa. Pernyataan Mamat ini seolah membantah apa yang dikatakan MUI diatas bahwa pihaknya tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk. Menjelaskan hal ini, Muti Arintawati, Direktur LPPOM MUI menjelaskan bahwa yang menjadi masalah bukan di kehalalan produk, tetapi lebih pada persoalan teknis semata. Wine yang muncul di daftar produk halal adalah nama warna red wine pada kosmetik yang sudah ditetapkan kebolehannya untuk digunakan dalam produk nonmakanan. Sementara beer, ternyata dua produk salah ketik, seharusnya beef, dan satu lagi adalah beer ginger yang sebenarnya adalah minuman jahe yang halal, tetapi perubahan nama produk yang baru tanpa kata beer belum dimasukkan dalam data (TV One News, 2/10/2024).

Sebenarnya, terkait pengggunaan nama sudah ada aturannya yaitu Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk, dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal. Produk yang tidak dapat disertifikasi adalah nama produk yang mengandung nama minuman keras, mengandung nama babi dan anjing serta turunannya, mengandung nama setan, yang mengarah pada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan serta mengandung kata-kata berkonotasi erotis atau vulgar. Hendaknya meski BPJPH mengeluarkan sertifikat halal terhadap sejumlah produk namun, proses penyusunan fatwa soal kehalalan produknya masih menjadi tanggung jawab MUI. 

Sayangnya, sejak UU Omnibus Law atau UU Ciptaker disahkan pada 5/10/2020 lalu, ternyata UU JPH pun mengalami perubahan signifikan. Dalam UU sapu jagat ini UU JPH dimasukkan dalam klaster Permudahan Perizinan Usaha. Maklum saja, pemerintah memang berambisi menjadikan Indonesia sebagai pusat produk halal dunia pada 2024 ini. Sementara selama ini Indonesia masih menjadi konsumen terbesar pasar halal dunia. Oleh karenanya, pemerintah sudah menetapkan beberapa strategi. Di antaranya, membangun keterhubungan hulu ke hilir, menciptakan ekosistem ekspor, mendorong pertumbuhan UMKM, membangun sinergi berbagai elemen, serta memberi dukungan kemudahan regulasi, termasuk perizinan, sertifikasi halal, dan lain-lain.

Terkait hal ini, salah satu perubahan UU JPH dalam UU Ciptaker ini adalah adanya pelibatan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) lain selain MUI dalam penetapan fatwa halal yang menjadi dasar sertifikasi oleh BPJPH. LPH ini bisa dibentuk dari ormas berbadan hukum, perguruan tinggi, dan atau lembaga lain yang diakreditasi oleh MUI. Ketetapan lainnya adalah soal penghapusan beberapa syarat bagi auditor halal. Sebelumnya disebutkan, auditor halal wajib beragama Islam, WNI, berwawasan luas terkait kehalalan produk dan syariat agama. Auditor juga wajib berpendidikan minimal S1 bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. Setelah syarat ini dihapus, tentu membuka ruang yang lebih lebar bagi siapa pun untuk menjadi seorang auditor halal, asal mengikuti pelatihan.

Dengan demikian, tampak jelas bahwa spirit sertifikasi halal ala UU Ciptaker bukan semata demi menjamin dan memastikan kehalalan produk atas dasar iman. Bukan pula demi mengakomodasi kepentingan umat Islam akan produk halal, melainkan sekadar formalisasi dan labelisasi demi merebut pasar umat Islam yang sangat besar, serta demi target menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional dan daya saing global. Terlebih, ketetapan dalam UU Ciptaker ternyata tidak mampu menutupi adanya tarik menarik kepentingan, termasuk kepentingan menarik cuan. Wajar, meski pembiayaan sertifikasi ini katanya diturunkan, tetapi wajibnya penggunaan logo halal akan menjadikan kegiatan sertifikasi ini sebagai bisnis tersendiri yang beromzet besar. Terlebih, saat ini pemerintah sedang mendorong pertumbuhan UMKM yang 99 persennya disebut-sebut telah memberikan kontribusi utama dalam struktur ekonomi Indonesia. Begitu pun dengan sektor pariwisata yang juga digadang-gadang sebagai primadona pembangunan ekonomi Indonesia. Semuanya berkelindan dengan segala bentuk produk halal, mulai dari makanan, fesyen, farmasi, dan kosmetika. Menggiurkan bukan?

Jaminan produk halal sejatinya merupakan hak rakyat dari pemimpinnya. Oleh karenanya, atas dorongan iman dan kewajiban, negara sudah semestinya melakukan berbagai cara untuk memastikan semua barang konsumsi rakyat dijamin kehalalannya, termasuk melalui aturan sertifikasi halal.

Aturan ini tentu tidak boleh membebani rakyat, terutama para produsen barang. Mereka justru harus diberi kemudahan, termasuk dalam hal regulasi dan pembiayaan. Karena sekali lagi, tugas negara dalam Islam adalah mengurus seluruh urusan rakyat dan menjaga mereka.

Jangan sampai dua hal ini masuk dalam perhitungan komponen biaya produksi yang membuat harga-harga barang menjadi mahal. Apalagi memicu munculnya sikap curang, seperti melakukan pemalsuan akibat sulitnya para produsen untuk mendapatkan sertifikasi halal. Alhasil, penerapan sistem sekuler kapitalisme neoliberal memang nyata-nyata telah membuat umat hidup dalam kesempitan. Kehalalan dan keharaman bercampur di dalam banyak hal, tidak jarang sangat sulit dibedakan.

Oleh karena itu, umat semestinya sadar bahwa hanya dalam sistem Islam (Khilafah) jaminan produk halal bisa benar-benar diwujudkan. Ini karena Khilafah tegak di atas akidah Islam dan berfungsi sebagai penegak seluruh aturan Islam, termasuk menjamin produk halal. Wallahu a'lam.


 *) Pemerhati Masalah Umat

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.