Header Ads


Sangat Memprihatinkan, Sekolah Negeri Tak Punya Bangunan

Oleh: Asma Sulistiawati*)


IndonesiaNeo, OPINI - Enam tahun sudah SMPN 60 Bandung berdiri. Namun, sejak didirikan, sekolah tersebut tak memiliki bangunan sekolah sendiri. Hingga kini sebagian siswanya harus belajar diluar kelas demi mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM).

Selain lesehan dengan beralaskan terpal plastik berwarna biru di teras ruangan luar kelas, para siswa juga kerap belajar dibawah pohon rindang atau disingkat DPR.

Sejak tahun 2018, siswa SMPN 60 Bandung harus menumpang di bangunan SDN 192 Ciburuy, Kecamatan Regol, Kota Bandung. Hal itu dilakukan karena SMPN 60 Bandung belum memiliki bangunan (DetikJabar, 28/9/2024).

Sungguh fakta yang sangat memprihatinkan, sekolah negeri namun tidak punya bangunan sejak tahun 2018. Walau ini bukan yang pertama diketahui, karena masih banyak sekolah-sekolah lain yang belum memiliki bangunan, atau sudah memiliki bangunan namun keadaannya sangat tidak layak digunakan untuk proses belajar mengajar, seperti atap yang bocor, dinding yang sudah retak, atau bangunan yang hampir rubuh, dsb.

Padahal, bangunan adalah kebutuhan yang tidak terlepas dari faktor penunjang keberhasilan pembelajaran, karena kenyamanan siswa dan guru sangat mempengaruhi proses belajar mengajar.

Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam, hasil tambang yang luar biasa melimpah, tentu hal diatas sangat ironi terjadi di negeri ini. 

Namun, karena negara kita adalah negara yang terkenal akan budaya korupsinya, maka hal diatas sangat wajar terjadi. Karena sejatinya, pemerintah mempunyai anggaran khusus untuk fasilitas pendidikan, namun karena abainya para pemangku kebijakan, maka permasalahan diatas bisa terjadi. 

Semua ini akibat paradigma sistem kapitalisme dalam mengelola sistem pendidikan. Paradigma kapitalisme memandang pendidikan sebagai barang dagangan. Akibatnya, biaya pendidikan kian mahal. Ada harga, ada kualitas. Apabila ingin menyekolahkan anak dengan fasilitas memadai, jangan berharap itu tersedia di sekolah-sekolah negeri.

Sementara sekolah swasta yang berfasilitas memadai, hanya bisa dirasakan oleh mereka yang terkategori keluarga ekonomi menengah ke atas, dan kian munculnya sekolah-sekolah swasta juga sejatinya mengalihkan tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya, namun hal itu dianggap wajar karena kalangan yang mampu merasa tidak puas jika menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. 

Selain itu, tata kelola pendidikan yang serba kapitalistik telah memalingkan perhatian utama pemerintah terhadap pendidikan terbaik bagi generasi bangsa. Meski anggaran pendidikan terus bertambah, ini seolah-olah tidak berguna manakala negara salah memprioritaskan penggunaan anggaran. Penyediaan gedung, sarana, dan prasarana sekolah adalah tugas negara dalam menjamin hak pendidikan generasi. Negara mestinya menjalankan fungsi tersebut untuk memastikan setiap sekolah berstatus milik negara terpenuhi sarana dan prasarananya. Negara dapat menyinkronkan data sekolah dengan lembaga terkait sehingga masalah ketiadaan gedung sekolah dapat diatasi dengan segera dan tepat sasaran.

Sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam, dimana negara berkewajiban mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan, mulai dari kurikulum, bahan ajar, metode pengajaran, sarana dan prasarana sekolah, hingga mengupayakan pendidikan dapat diakses rakyat secara mudah.  Rasulullah ï·º bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Dalam mendukung lahirnya generasi unggul, negara Khilafah akan memenuhi sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar guru dan siswa, di antaranya:

Pertama, semua jenjang pendidikan harus memiliki fasilitas yang sama. Tujuannya agar semua peserta didik di setiap wilayah dapat menikmati fasilitas pendidikan.

Negara akan berperan aktif dalam melengkapi sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, kreativitas, dan inovasi. Sarana tersebut bisa berupa gedung sekolah/kampus, ruang kelas, kantor guru dan TU, perpustakaan, laboratorium, asrama siswa, toko buku, aula sekolah, ruang seminar atau diskusi, majalah, surat kabar, layanan internet, dan sebagainya.

Kedua, membangun banyak perpustakaan umum, laboratorium, dan sarana umum lainnya diluar yang dimiliki sekolah dan perguruan tinggi untuk memudahkan para siswa melakukan kegiatan penelitian dalam berbagai disiplin ilmu.

Ketiga, mendorong pendirian toko-toko buku dan perpustakaan pribadi. Para pemilik toko buku didorong untuk memiliki ruangan khusus kajian dan diskusi yang dibina oleh seorang ilmuwan atau cendekiawan. Mereka juga didorong memiliki buku-buku terbaru, mengikuti diskusi karya dan hasil penelitian ilmiah para cendekiawan.

Keempat, negara menyediakan sarana pendidikan lain, seperti televisi, surat kabar, majalah, dan penerbitan yang bermanfaat untuk siapa saja tanpa harus ada izin negara.

Kelima, mengizinkan masyarakat untuk menerbitkan buku, surat kabar, majalah, dan melakukan penyiaran dengan konten yang mendidik dan sesuai ketentuan Islam.

Keenam, memberi sanksi kepada orang atau sekelompok orang yang mengarang suatu tulisan yang bertentangan dengan Islam, baik disiarkan lewat internet, media sosial, surat kabar, televisi, atau sarana penyiaran lainnya.

Ketujuh, pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan di negara Khilafah diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum).

Seluruh pemasukan negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai dan kharaj maupun pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, negara Khilafah meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim.

Kedelapan, sistem pendidikan Islam bebas biaya untuk seluruh peserta didik. Contoh praktisnya adalah Madrasah al-Mustansiriyyah yang didirikan Khalifah al-Mustansir Billah di kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa satu dinar (4,25 gram emas) per bulan.

Kesembilan, guru dan tenaga pengajar profesional. Negara berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar atau 63,75 gram emas. Dengan harga 1 gram emas Antam per 2 Oktober 2024 sebesar Rp1.464.000 maka setara dengan Rp93,330 juta per bulan. Gaji ini beliau ambil dari baitulmal. Demikianlah solusi terbaik yang akan dilakukan oleh negara yang menerapkan aturan Islam. Waallahu a'lam bishowab.[]


*) Pegiat Literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.