Sekadar Menjadi Kantong Suara, Peran Politik Generasi Muda Tereduksi?
Oleh: Waode Rachmawati*)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia tahun 2024 akan berlangsung serentak di berbagai daerah, termasuk Sulawesi Tenggara. Perhelatan pesta demokrasi yang dijadwalkan akan berlangsung November mendatang, menargetkan pemilih dari kalangan Gen Z dan milenial, mengingat kedua kelompok ini semakin mendominasi jumlah pemilih. Menurut survei Lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS), proporsi pemilih muda rentang usia 17—39 tahun diprediksi mendekati 60 persen (Liputan6.com., 26-9-2022).
Kota Kendari menjadi salah satu daerah yang memiliki jumlah pemilih dari kalangan Gen Z dan milenial dengan jumlah terbanyak. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Kendari, Arwah mengatakan, Jumlah pemilih dari kalangan generasi Z dan milenial mendominasi jumlah pemilih, yakni mencapai 64,8 persen dari total DPT 238.683 pemilih (https://sultra.tribunnews.com, 29/9/2024).
Melihat besarnya potensi suara dari pemilih muda, pemerintah semakin aktif berupaya meningkatkan partisipasi mereka dalam Pilkada2024. Di Kendari, misalnya, upaya ini massif dilakukan. Di antaranya oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) melaksanakan sosialisasi bagi pemilih pemula dalam rangka Pilkada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Kendari tahun 2024. kegiatan ini diikuti oleh sejumlah siswa dari SMA/SMK Kota Kendari. Kegiatan ini bertujuan untuk mengedukasi sekaligus mempererat tali persaudaraan generasi muda. Pun, merupakan bagian dari upaya meningkatkan partisipasi pemilih, khususnya generasi muda, dalam Pemilukada 2024 (edisiindonesia.id/2024).
Dalam kesempatan lain, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun mengadakan sosialisai terkait pemilukada dengan menghadirkan peserta dari beberapa SMA/SMK Kota Kendari. Sejalan dengan yang dilakukan oleh Kesbangpol, Bawaslu mengadakan kegiatan ini guna meberikan edukasi terkait hak dan kewajiban pemilih pemula dalam pemilu serta dapat memotivasi mereka untuk berpartisipasi penuh dalam pesta demokrasi ini (detiksultra.com).
Hal ini dilakukan agar partisipasi dan kesadaran politik generasi Z meningkat dalam pemilu. Pengusung Demokrasi menyadari bahwa generasi Z dianggap cenderung identik dengan buta politik, atau bahkan anti politik. Fenomena ini menyebabkan kemunduran demokrasi (democratic backsliding) yang mengarah pada kaum muda. Ada studi lain mengungkapkan bahwa banyak remaja mengidentifikasi diri mereka sebagai golput. Bahkan, mereka apatis secara politik dan bersikap pasif dalam politik meskipun mereka hidup di lingkungan politik yang lebih liberal (BBC Indonesia, 24-10-2023).
Lantas, efektifkah sosialisasi dan edukasi politik yang dilakukan menjelang momentum pesta demokrasi terhadap peningkatan kesadaran politik pemuda? Mampukah meningkatkan peran politik pemuda secara hakiki?
Sekadar Kantong Suara?
Kesuksesan pesta demokrasi dapat diukur dengan tingginya partisipasi pemilih. Pun demikian dengan kemenangan kontestasi politik berdasarkan suara terbanyak. Oleh karena itu, upaya menyukseskan perhelatan pesta demokrasi ini meniscayakan pemerintah dan bakal pasangan calon (paslon) kepala daerah melihat kantong suara mana yang paling besar untuk disasar.
Jumlah penduduk usia muda yang kini mendominasi memang menjadi primadona untuk meraih suara. Sayangnya, karakter milenial yang cenderung cuek akan dunia politik, maka dilakukanlah berbagai upaya mengedukasi para pemilih muda untuk meningkatkan partisipasi dalam pesta demokrasi ini. Sayang, kondisi ini tidak berdampak secara eksponensial terhadap kesadaran politik di kalangan muda.
Demokrasi nyatanya hanya menjadikan suara pemuda sebagai legitimasi atas kekuasaan para penguasa. Mereka para pengusung demokrasi juga mereduksi makna “peran politik” sebatas pada keterlibatan pemilu, seolah tidak ada peran perubahan yang lain. Walhasil, pemuda sekadar menjadi kantong suara yang siap untuk diperebutkan.
Ironisnya, ketika suara mereka dibutuhkan untuk pemilihan kekuasaan, mereka dirangkul atas nama peran politik.
Sementara itu, ketika mereka menyuarakan aspirasi, perubahan dan kritik kebijakan demi kepentingan rakyat, demokrasi tidak akan menyebutnya sebagai peran politik, bahkan tidak memberi ruang dialog, apalagi memenuhi semua tuntutan.
Demokrasi Mereduksi Peran Politik Pemuda
Peran generasi muda tidak akan efektif dalam membawa perubahan hakiki jika mereka hanya dianggap sebagai "kantong suara" dalam pemilihan umum. Agar bisa berkontribusi secara signifikan, generasi muda perlu dilibatkan secara aktif dan memiliki peran yang lebih luas dalam proses politik. Namun, faktanya, sistem politik demokrasi justru mereduksi peran politik pemuda. Peran politik pemuda dalam demokrasi adalah sebatas dalam pergantian kekuasaan rezim saja. Sejatinya, generasi diarahkan kepada pemikiran bahwa demokrasi semata tersaji sebagai sistem terbaik. Bahkan, apa pun persoalan bangsa dan penderitaan rakyat, tuntutan perubahan tidak boleh keluar dari lingkaran sistem demokrasi.
Oleh karenanya, peran politik demokrasi justru membahayakan pergerakan pemuda dan masa depan bangsa karena beberapa alasan. Pertama, pemuda menjadi alat kekuasaan dengan terlibat politik praktis. Pemuda yang terlibat dalam politik praktis sering kali menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka dapat menjadi agen perubahan dan suara bagi generasi mereka. Akan tetapi, di sisi lain, mereka juga bisa terjebak dalam permainan politik yang lebih besar dan berisiko menjadi alat kekuasaan. Seperti terjebak dalam kepentingan politis, yakni pemuda yang terlibat dalam partai politik sering kali dituntut untuk mengikuti garis kebijakan yang ditetapkan oleh elite, yang bisa membuat mereka kehilangan suara dan independensi dalam memperjuangkan isu-isu yang penting bagi generasi mereka. Berikutnya, ketika pemuda tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi agenda politik, mereka bisa menjadi bagian dari diskursus yang didominasi oleh elite, tanpa kemampuan untuk mengubah narasi yang ada.
Kedua, pergerakan mahasiswa sering kali diharapkan dapat menjadi motor penggerak perubahan sosial dan politik. Namun, ketika mereka terjebak dalam definisi sempit tentang politik demokrasi sebagai sistem terbaik, beberapa blunder dapat terjadi, yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai perubahan hakiki. Pergerakan mahasiswa sering kali terfokus pada perubahan rezim tanpa mengatasi akar masalah yang lebih dalam. Artinya, pemuda gagal memahami bahwa akar masalah penderitaan rakyat bukanlah sekadar karena rezim zalim, melainkan sistem sekuler demokrasi yang melegalkan cengkeraman kaum oligarki kapitalis atas bangsa ini.
Ketiga, mereduksi peran politik hakiki pemuda. Regulasi dan kebijakan dalam sistem Demokrasi dapat membatasi partisipasi politik dan daya kritis pemuda. Berbagai regulasi hukum, seperti UU ITE dan UU KUHP, telah membungkam daya kritis warga, termasuk pemudanya. Demokrasi juga terus mengambinghitamkan sistem politik Islam sebagai sumber masalah dan ancaman bangsa. Akibatnya, pemuda tidak memahami hakikat peran politik yang benar. Mereka tidak memiliki bayangan sistem politik negara yang menjamin kesejahteraan. Tidak hanya merdeksi peran politik hakiki pemuda, hal ini juga berbahaya bagi masa depan bangsa karena makin jauh dari Islam sebagai solusi.
Peran Politik Pemuda Dalam Sistem Islam
Pemuda berperan penting sebagai agen perubahan. Pemuda dalam Islam wajib beraktivitas politik. Kepedulian terhadap nasib rakyat dan daya kritis mereka terhadap kebijakan zalim adalah identitas pergerakan yang akan mengawal tercapainya tujuan bernegara, yaitu jaminan perlindungan, keamanan, kesejahteraan, dan pendidikan, serta terwujudnya kemaslahatan hidup rakyat. Inilah peran politik hakiki pemuda, memastikan berjalannya peran negara dalam mengurusi rakyat.
Dalam pandangan Islam, politik negara adalah mengatur urusan umat berdasarkan syariat Allah Taala. Kekuasaan (Khilafah) merupakan jalan menerapkan syariat kafah demi kemaslahatan umat. Sebagai pelaksana syariat-Nya, sosok khalifah adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa. Oleh karenanya, dibutuhkan peran pemuda untuk memberikan kritik dan masukan terkait kebijakan penguasa. Hal ini dilakukan sebagi bentuk kecintaan rakyat kepada pemimpinnya agar tidak tergelincir pada keharaman yang dimurkai Allah Taala .
Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, An-Nasa’i, Al-Hakim).
Di samping itu, para pemuda mampu membekali diri dengan melakukan beberapa hal. Petama, mengokohkan keimanan bahwa Islam adalah agama yang paripurna, mengatur urusan dunia dan akhirat, bukan sekadar spiritual. Kedua, mengkaji Islam sebagai ideologi, bukan sekadar ilmu pengetahuan, melainkan mau terikat dengan syariat islam sehingga dapat membedakan perbuatan baik-buruk, terpuji-tercela, dan halal-haram.
Ketiga, senantiasa memiliki sikap berpihak pada Islam, bukan netral, atau hanya mencari keuntungan duniawi. Mereka pun memiliki visi politik yang islami, bukan mengambil nilai-nilai di luar Islam yang bertentangan dnegan syariat termasuk demokrasi. Keempat, terlibat dalam dakwah Islam demi tegaknya Islam kafah dalam naungan Khilafah. Al-Qur’an telah merekam keteguhan iman dan kesungguhan perjuangan para pemuda Kahfi hingga mereka mendapat pertolongan dan perlindungan dari Allah Taala.
Ingatlah sabda Nabi saw., "Wahai pemuda, janganlah kalian menjadi imma’ah (suka ikut-ikutan)! Kalian berkata, ‘Jika manusia berbuat baik, kami pun akan berbuat baik. Jika mereka berbuat zalim, kami juga akan berbuat zalim.’ Akan tetapi, kukuhkan diri kalian. Jika manusia berbuat baik, kalian juga berbuat baik. Jika mereka berbuat buruk, jangan kalian berlaku zalim".
Wallahu a'lam bishawab.
*) Aktivis Dakwah Muslimah Kota Kendari
Post a Comment