Tunjangan Rumah Dinas untuk Pejabat, di Tengah Kondisi Rakyat Sekarat
Oleh: Nining Julianti*)
IndonesiaNeo, OPINI - Beberapa waktu ini tersebar kabar bahwa anggota DPR akan mendapatkan fasilitas Tunjangan Rumah Dinas. Tunjangan ini tentu diharapkan memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Argumennya karena melihat kondisi saat ini rumah dinas para pejabat sudah banyak yang mengalami kerusakan yang disebabkan umur rumah dinas yang sudah tua.
Namun disisi yang lain, ada yang menilai bahwa tunjangan Perumahan tersebut hanya bentuk pemborosan Negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga, kebijakan pemberian tunjungan perumahan Anggota DPR Periode 2024-2029 tidak memiliki perencanaan mengingat besarnya pemborosan anggaran atas tunjangan tersebut. (nasional.kompas.com). Bahkan pemberian tunjangan tersebut hanya akan semakin memperkaya para pejabat yakni anggota DPR ditengah kondisi masyrakat yang semakin hari semakin sulit. Sebab Tunjangan per bulannya cukup fantastis, 50 juta per bulan.
Kemewahan dan kekayaan yang dipertontonkan para pejabat selama ini sudah bukan lagi rahasia. Bagaimana masyarakat dipertontonkan dengan gaya hidup mewah dan uang yang berdigit-digit hingga trilyunan yang sangat berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat yang mereka wakili. Bahkan kondisi rakyat semakin kronis dengan beban-beban kehidupan yang semakin bertambah. Mulai dari pajak, subsidi dicabut, pendidikan dan kesehatan berkualitas mahal sampai yang masih kesulitan memiliki rumah, bahkan ada ‘beban’ iuran Tapera bagi pekerja. Alih-alih mereka para pejabat bekerja dengan baik, justru kondisi rakyat makin terpuruk karena kebutuhan pokok semakin sulit terpenuhi sementara para pejabat bergelimang harta bahkan sampai korupsi dengan nilai korupsi yang fantastis.
Lumrah dalam sistem kapitalisme, masyarakat kelas menengah hingga atas, bahkan pejabat kelas kakap, hidup dalam atmosfer materialistis. Di antaranya, sebabnya ialah pertama, sistem kapitalisme masih saja bercokol di banyak negeri, termasuk negeri muslim Indonesia yang akhirnya melahirkan gaya hidup materialistis. Lahirlah individu-individu materialistis. Kedua, Negara tidak melakukan pengawasan ketat kinerja pejabat dan harta yang dimiliki setelah menjabat. Sehingga wajar jika dalam sistem ini banyak kita temukan pejabat yang memperkaya diri dan keluarga. Saling sikut demi memperoleh kedudukan. Ditambah peluang korupsi oleh pejabat di negeri ini sangat terbuka lebar akibat lemahnya sanksi negara. Indonesia yang kaya raya, rakyatnya harus menderita karena manusia-manusia serakah yang semakin subur di Negeri yang menganut Sistem Kapitalisme.
Maka sungguh, mereka yang notabene wakil rakyat namun tidak amanah mengurus rakyat lalu diberi fasilitas yang wah dengan gaji yang tinggi hanya semakin menambah perih dihati rakyat. Fenomena ini pun terus berulang. Suara rakyat setiap 5 tahun sekali hanya menjadi jembatan untuk memuluskan kepentingan mereka. Tidak heran selalu bermunculan kasus rekening gendut, aset fantastis pejabat, juga kasus dugaan pencucian uang yang digawangi para pejabat. Satu dua kejadian mungkin layak disebut kasus. Namun, jika selalu berulang, maka jelas ada permasalah yang tidak hanya berhenti pada aspek personal/diri pejabat. Ini bersifat sistemik. Sistem kapitalismelah yang telah melahirkan masyarakat yang mendewa-dewakan kekayaan. Sistem ini pula yang mewadahi lahirnya pejabat yang menghalalkan segala cara demi memperoleh harta dan kedudukan. Industri politik dalam sistem ini kian menjadi bisnis besar yang semakin memperdalam jurang antara si kaya dan si miskin.
Dalam Islam salah satu kisah yang dapat kita ambil pelajaran terkait masalah ini adalah kisah Umar bin Khaththab yang pernah menyita harta Abu Sufyan karena adanya penambahan harta sebelum dan sesudah putranya menjabat. Praktik pembuktian terbalik harta pejabat telah ada di masa Umar bin Khaththab. Sayangnya, saat ini, upaya menjadikan beliau sebagai profil pemimpin teladan masih sebatas sosok, bukan sistem. Padahal, pejabat negara yang bertakwa lahir dari sistem yang menyandarkan seluruh aktivitas di bawah pengawasan Sang Khalik.
Dalam sistem sekuler Kapitalisme yang mengenyampingkan pengawasan Allah, maka tidak sulit bagi pejabat mengambil dan bersenang-senang dengan harta yang bukan haknya. Sebab ia tidak menyertakan pemahaman mengenai adanya hubungan aktivitas manusia dengan pengawasan Allah. Dalam Islam, ada Majelis Ummah, yang merupakan wakil rakyat, namun berbeda peran dan fungsi dengan anggota dewan dalam sistem demokrasi. Anggota majelis ummat murni mewakili umat, atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Dalam sistem islam, lekat dengan ketakwaan. Para pejabat dipersempit dalam memanfaatkan kekuasaan untuk mengeruk kekayaan. Masyarakat pun turut melakukan muhasabah sebagai implementasi dalam amar makruf nahi mungkar.
Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan karena merupakan Amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, dan bukan pada keistimewaan yang diberikan negara. Apalagi Islam juga memliki aturan terkait dengan harta, kepemilikan maupun pemanfaatannya.
Wallaahualam.
*) Relawan Opini
Post a Comment