Header Ads


Wakil Rakyat Bermewah-Mewah, Rakyat Melarat

Oleh: Ummu Hawwa*)

 

IndonesiaNeo, OPINI - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR Periode 2024-2029 merupakan bentuk pemborosan uang negara. "Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik," kata peneliti ICW Seira Tamara dalam keterangan tertulis (Kompas, 11/10/2024).

Tunjangan rumah dinas anggota DPR menambah panjang daftar fasilitas yang diterima anggota dewan. Tunjangan ini tentu diharapkan memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat.  Namun melihat realita sebelumnya, dan realita anggota Dewan periode ini, mungkinkah harapan rakyat dapat terwujud? Optimalkah kerja mereka?

Apalagi, dengan adanya rumah jabatan anggota, tunjangan ini bisa menjadi satu pemborosan anggaran negara.  Belum lagi persoalan lain yang muncul, seperti mempersulit pengawasan penggunaan dana tsb. Terlebih dana ditransfer ke rekening masing-masing anggota dewan. Wajar jika ada anggapan tunjangan ini hanya memperkaya mereka.


Sekularisme biang masalah 

Tunjangan tersebut ironis jika dibandingkan dengan realita yang dihadapi rakyat hari ini, dimana rakyat yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidup bahkan kesulitan memiliki rumah, bahkan ada ‘beban’ iuran Tapera bagi pekerja. Padahal rumah jabatan yang diperuntukkan untuk anggota DPR sebelumnya masih sangat layak untuk ditempati.

Bahkan rakyat ketika diperlihatkan rumah jabatan yang akan diganti itu kebanyakan berpikir bahwa itu adalah rumah hunian yang mewah dan sangat layak untuk ditempati, yang artinya ketika ingin mengganti rumah jabatan tersebut yang masih dikategorikan layak untuk dihuni namun ingin diganti maka itu adalah pemborosan yang dilakukan oleh negara, dan terkesan memanjakan para wakil rakyat.

 Ironisnya ketika keputusan anggota dewan justru membuat rakyat makin susah hidupnya. Di mana sering kali kita jumpai keputusan yang diambil atau undang-undang yang disahkan terlalu sering menyengsarakan rakyat mereka lebih condong kepada para oligarki dan para pengusaha atau pemilik modal, bisa dikatakan bahwa mereka adalah wakil oligarki bukan wakil Rakyat. 

Inilah bukti salah satu kerusakan dari sistem demokrasi yang berasaskan sekularisme, di mana kehidupan dipisahkan dari agama sehingga mereka bebas membuat aturannya masing-masing tanpa memikirkan kemaslahatan umat, yang mereka pikirkan adalah ketika itu menguntungkan bagi mereka maka itulah yang akan mereka lakukan tanpa mempertimbangkan halal haramnya suatu perbuatan. 

Dalam demokrasi bahkan negara selalu berpihak kepada elit politik dan oligarki, wakil rakyat diberikan pelayanan yang mewah sedangkan pelayanan yang diberikan kepada rakyat itu ala kadarnya bahkan terkesan menindas rakyatnya, dimana sering kita jumpai kebijakannya yang semakin mencekik rakyat, seperti kenaikan pajak yang terus meningkat, melonjaknya harga sembako dan semakin melejitnya harga bahan bakar. Dan tentu itu semua membuat rakyat semakin melarat.

Terbukti bahwa dalam sistem demokrasi sekularisme  kekuasaan bukanlah ditangan rakyat seperti semboyan demokrasi itu sendiri "dari rakyat untuk Rakyat" akan tetapi  kekuasaan di tangan para oligarki.


Islam mencontohkan

Dalam Islam, ada Majelis Ummah  yang merupakan wakil rakyat, namun berbeda peran dan fungsi dengan anggota dewan dalam sistem demokrasi. Di mana anggota dewan dalam sistem demokrasi mempunyai tugas untuk membuat dan mengesahkan peraturan dan undang-undang namun berbeda halnya dengan anggota majelis ummat yang murni mewakili umat, atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. 

kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan karena merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, dan bukan pada keistimewaan yang diberikan negara. Apalagi Islam juga memiliki aturan terkait dengan harta, kepemilikan maupun pemanfaatannya. 

Dalam negara Islam yang diterapkan adalah aturan-aturan yang bersumber dari Alquran dan Sunnah yang tentunya itu akan mampu berlaku adil dan mensejahterakan umat, kemudian mampu menciptakan individu-individu yang lebih sederhana tidak bermewah-mewahan, apalagi menggunakan uang rakyat. 

Keberadaan majelis umat bertugas memuhasabah ( mengoreksi) penguasa dan keimanan merupakan motivasi dalam menjalankan tugas, sehingga tidak akan kita jumpai adanya wakil umat yang berfoya-foya dan bermewah-mewahan menggunakan fasilitas negara apalagi mengambil harta dari negara yang bukan haknya. 

Sebut saja Khalifah Umar bin Khattab yang selalu menjadi role model kepemimpinan sekarang, di mana beliau mempunyai ketakutan yang sangat tinggi kepada sang pencipta/Khaliq, keimanannya tersebut membuat ia takut untuk menggunakan harta negara untuk kepentingan pribadi. Seperti yang pernah dikisahkan di mana ada seseorang yang datang ingin mengadu kepada beliau, kemudian Khalifah Umar bin Khattab pada saat itu bertanya kepada orang tadi, yang beliau pertanyakan adalah apakah yang ingin ia sampaikan adalah perkara umat atau masalah pribadi, jika yang ingin dibahas masalah pribadi maka beliau tidak ingin menggunakan fasilitas negara. 

Begitulah gambaran seorang khalifah dan struktur dalam sistem pemerintahan Islam di mana keimanan kepada sang pencipta menjadi paling utama yang harus  dijalankan melainkan tugas yang lain termasuk majelis umat yang bertugas menampung saran dan kritik yang harus di sampaikan kepada penguasa.

Sehingga untuk mendapatkan wakil rakyat yang sesuai dengan kebutuhan rakyat hari ini adalah wakil rakyat yang berada di dalam sistem Islam bukan sistem demokrasi sekularisme sebab ini sudah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat serta para khalifah-khalifah setelahnya. 

Wallahu alam bissowab.

*) Pegiat Literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.