Wakil Rakyat Periode Baru, Hadirkan Harapan Baru?
Oleh: Teti Ummu Alif*)
IndonesiaNeo, OPINI - Sah. Anggota DPR, DPD, dan MPR RI untuk masa jabatan tahun 2024-2029 resmi dilantik dalam sidang paripurna pada 1 Oktober 2024. Diketahui, Puan Maharani resmi ditetapkan sebagai Ketua DPR RI dengan wakil Sufmi Dasco Ahmad dari fraksi Gerindra, Adies Kadir dari fraksi Golkar, Saan Mustopa dari fraksi NasDem dan Cucun Ahmad Syamsurijal dari fraksi PKB. Sementara itu, Ahmad Muzani dari fraksi Gerindra terpilih sebagai Ketua MPR RI dengan wakil Bambang Wuryanto dari PDIP, Kahar Muzakir dari Golkar, Lestari Moerdijat dari NasDem, Rusdi Kirana dari PKB, Hidayat Nur Wahid dari PKS, Eddy Soeparno dari PAN, Edhie Baskoro Yudhoyono dari Demokrat dan Abcandra Akbar Supratman dari Kelompok DPD (cnbcindonesia, 4/10/2024).
Ditengah euforia pelantikan para wakil rakyat yang mencapai 580 orang, terselip harapan besar dari masyarakat +62 terhadap kinerja mereka. Salah satu isu utama yang menjadi perhatian warga adalah persoalan lapangan pekerjaan dan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih memihak rakyat kecil. Akankah harapan rakyat terwujud dengan komposisi 56 persen wajah lama?
Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Demikian kredo demokrasi yang kerap terdengar. Hal ini menciptakan keyakinan bahwa rakyat memiliki kedaulatan dalam menentukan jalannya sistem politik dan kepemimpinan satu negara. Hanya saja, satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa sistem demokrasi lahir dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan.
Konsekuensi dari hal ini meniscayakan kebebasan pada manusia untuk berbuat termasuk dalam praktik politik yang mereka lakukan. Sekularisme adalah titik kritis bagi demokrasi kapitalisme hari ini. Pada faktanya, sistem demokrasi tidak hanya menciptakan praktik politik yang mempertontonkan kebohongan secara nyata. Akan tetapi juga menciptakan industri politik yang hanya memanfaatkan suara rakyat, alih-alih mewujudkan kemaslahatan mereka. Dengan begitu, sistem demokrasi sejatinya telah meneguhkan dirinya sebagai sistem yang hanya menguntungkan kaum elite, sementara kehidupan rakyat tetap saja sulit.
Demikian pula dengan keberadaan para wakil rakyat yang baru saja dilantik. Pasalnya, mereka merupakan hasil dari koalisi dan manuver petinggi parpol dalam mendulang suara disejumlah wilayah saat pemilu. Dimana manuver politik tersebut acapkali menghalalkan segala cara demi mendapatkan kekuasaan. Bahkan, demi mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya itu, praktik politik yang terjadi kerap brutal dan membabi buta. Persahabatan dikorbankan. Pertemanan diingkari. Berbohong dan ingkar janji menjadi perkara biasa. Mirisnya lagi ada yang rela menghabisi partainya sendiri, semua demi keuntungan politik. Untuk itu rasanya tidak berlebihan jika idealisme berpolitik itu tempatnya hanya di ruang kelas dan keranjang sampah.
Ya, dalam masyarakat sekuler, kapitalisme adalah spirit segala interaksi manusia baik politik, ekonomi, hukum, sosial, pergaulan dan sebagainya. Hal ini meniscayakan realitas bahwa siapapun yang memiliki kapital (modal), ia berpeluang memiliki kuasa bahkan mengendalikan sistem tata sosial yang berjalan di tengah masyarakat. Atas dasar itu, kekuasaan adalah jalan untuk mengamankan kepentingan, menanamkan pengaruh sekaligus membentuk oligarki kekuasaan. Bahkan, memasuki wilayah politik adalah bekal untuk melipatgandakan bisnis. Fenomena seperti ini sudah bukan rahasia lagi dalam sistem demokrasi. Prinsip “power is money and money is power” lahir dari kapitalisme. Hal ini menegaskan bahwa sistem politik bertemu dalam industri politik demokrasi kapitalisme. Praktik inilah yang terjadi secara vulgar di sekitar kita. Sistem ini juga telah menyingkirkan nilai moralitas dan agama dalam kehidupan.
Jika dicermati,hiitung-hitungan kekuataan parpol bukan sebatas pada dukungan massa, tetapi juga modal yang mereka persiapkan. Seluruh drama politik ini adalah strategi untuk meraih kekuasaan bersama. Dalam proses meraih kekuasaan itu, cara-cara kotor, curang, dan penuh kebohongan pun mereka pertontonkan tanpa malu. Begitu kekuasaan mereka peroleh, dengan episode selanjutnya yakni bagi-bagi jatah kekuasaan. Jadi, jika kita berharap mereka mampu menghadirkan pemimpin yang dapat mendengar suara rakyat, itu jelas omong kosong. Dalam praktiknya, pemimpin-pemimpin yang lahir dalam pesta demokrasi itu tidak lain bekerja untuk melayani kepentingan para oligarki. Rakyat hanyalah partisipan pasif yang kontribusi riilnya dalam politik, semata hadir saat proses pencoblosan saja. Slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat adalah utopis belaka. Terbukti, dalam pegelaran pesta demokrasi hampir dipastikan para elite menuai untung, sementara rakyat malah buntung.
Sebaliknya, praktik politik dalam Islam jauh dari politik oportunis dan transaksional. Para pemegang kekuasaan pun tidak lahir dari hasil koalisi yang mempertemukan kepentingan para elite. Dalam Islam, kekuasaan bukanlah sesuatu yang lepas dari pertanggungjawaban di hadapan Allah. Oleh karena itulah, Islam memiliki pandangan yang khas mengenai kekuasaan. Imam Al-Ghazali mengungkapkan dengan sangat bijak mengenai hubungan kekuasaan dan agama. Beliau berkata, “Kekuasaan (pemerintah) dan agama adalah saudara kembar. Agama adalah fondasi dan kekuasaan (pemerintah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak berfondasi akan roboh, dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan lenyap/hilang. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa kekuasaan berperan besar dalam menegakkan syariat di tengah-tengah masyarakat. Atas dasar ini pula, para pemimpin dipilih untuk menjalankan apa yang menjadi perintah Allah dan Rasulullah saw..
Di sisi lain, makna politik tidak sesempit fakta seperti saat ini. Politik dalam Islam bermakna ri’ayatusy syu’unil ummah, yakni mengurus urusan umat. Dengan definisi ini, penguasa berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya. Kapabilitasnya dalam mengelola negara bukan hanya berdasarkan kemampuan seorang politisi tetapi juga lahir dari keimanan yang kukuh. Rakyat pun merasakan atmosfer politik yang kental dengan spirit keimanan. Inilah rahasia peradaban Islam dalam mewujudkan konsep-konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Kekuasaan adalah amanah. Namun dalam kaca mata kapitalisme demokrasi hari ini, kekuasaan ibarat jalan tol untuk meraih segala kemewahan dunia. Pandangan Islam justru sebaliknya. Kekuasaan adalah perkara berat yang membutuhkan kapabilitas dan rasa tanggung jawab. Inilah yang tergambar dalam percakapan Rasulullah saw bersama Abu Dzar. Dari Abu Dzar, ia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah Engkau menjadikanku sebagai pejabat?’ Abu Dzar berkata, ‘Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas dengan benar.’.” (HR Muslim). Inilah sebabnya Rasulullah saw. juga mengingatkan umat Islam tentang kekuasaan. Beliau bersabda, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Al-Bukhari).
Wahai kaum muslim, sudah saatnya umat mencampakkan sistem jahiliyah yang rusak dan kembali kepada tatanan politik islam yang telah terbukti membawa kesejahteraan nyata bagi manusia berabad lamanya. Wallahu a'lam.
*) Pemerhati Masalah Umat
Post a Comment