Header Ads


Impor Susu Menyengsarakan Produk Lokal

Oleh: Asma Sulistiawati*)


IndonesiaNeo, OPINI - Lagi-lagi impor, sampai kapan? Sungguh miris jika melihat nasib peternak susu di Indonesia saat ini. Mereka marah dan sedih melihat sikap andil dari penguasa yang menzalimi mereka.

Dilansir dari Radar Jogja (12/11/2024), banyak dari peternak sapi perah yang membuang ribuan liter susu hasil panen mereka akibat dari pembatasan kouta dari industri pengolahan susu (IPS). Tepatnya di kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, aksi protes ini berlangsung selama beberapa pekan terakhir. 

Ketua Koperasi Peternak dan Susu Merapi (KSPM) seruni sugianto menyampaikan bahwa pembatasan stok susu juga dirasakan peternak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Meski pembatasan kouta dialasankan karena kebutuhan pemeliharaan mesin. Namun pasti ada faktor lain yang menunjang pembatasan ini yaitu kebijakan impor susu yang diperlonggar, ujarnya.

Inilah hasil dari simalakama program makanan gratis oleh penguasa yang menjadikan impor susu membengkak. Seharusnya penguasa menghabiskan dulu produk dalam negeri baru memikirkan impor dari luar. Sehingga hal semacam ini bisa terhindarkan, para peternak dengan hasil kelelahannya dibayar tuntas. Bukan lagi-lagi impor yang selalu dipikirkan padahal kita tidak kekurangan  produk dalam negeri. 

Memang pada tahun 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk susu segar di Indonesia hanya mencapai 837.223 ton setara 19% dari kebutuhan nasional sebesar 4,4 juta ton. Sehingga inilah yang menyebabkan alasan dari pada penguasa ingin membuka keran impor sebanyak 81% untuk menutupi kekurangannya. Namun sekarang sudah tahun 2024 yang dimana produk susu perah itu sangat melimpah sehingga, jika penguasa hanya memberikan 20% dari haril produk local lalu sisanya mau dikemanakan? Sedangkan hasil susu perah sangat melebihi kouta 20% dari yang ditetapkan penguasa. Tentu ini bukan solusi yang tepat untuk dijalankan.

Padahal jikalau penguasa mau saja untuk melebihi kouta dalam negeri. Indonesia bahkan tidak akan mengimpor sampai sebesar itu. Sudah seharusnya kita peduli dengan produk lokal. Katanya ingin menciptakan ekonomi yang jaya mau berdiri diatas kaki sendiri tanpa pengekangan dari pihak asing dan aseng. Lalu jikalau produk lokal terus di anak tirikan dalam negeri sendiri, kami harus mengeluh pada siapa lagi? Harus melapor dan marah kemana?

Membuang susu memang bukan solusi, katanya bagikan saja secara gratis dan lain sebagainya. Itupun sudah dilakukan dank outa dari sisa susu dari peternak masih sangat banyak dan jangka waktu dari susu segar juga ada itupun tidak akan bertahan lama hanya bertahan sekitar 48 jam saja. Lantas, siapa yang mau meminum susu sebanyak itu?

Negara seharusnya melindungi nasib peternak melalui kebijakan yang berpihak pada peternak. Baik dalam hal menjaga mutu maupun  dalam menampung hasil susu dan lainnya. Kebijakan impor diduga ada keterlibatan para pemburu rente untuk mendapatkan keuntungan dari impor susu.  Inilah salah satu kebijakan buruk dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena berpihak pada para pengusaha.

Negeri ini menganut sistem ekonomi kapitalisme yang condong pada modal besar. Dalam artian, pemodal atau kapitalis akan selalu memiliki privilege, dalam hal apa pun, termasuk ekonomi. Pada kasus susu dalam program makan bergizi gratis, penguasa telah memudahkan pengimporan susu, sebab penerima manfaat akan bertambah jika program ini telah berjalan. Walhasil, yang paling diuntungkan dalam program ini adalah para pemilik perusahaan pengolahan susu, bukan para peternak lokal.

Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan itulah yang mampu memproses susu, baik untuk UHT (Ultra High Temperature) maupun pasteurisasi. Para peternak hanyalah memperoleh bagiannya dengan memasok puluhan liter susu sehari. Para peternak tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan besar dengan kecanggihan alat-alatnya untuk memproduksi susu kemasan.

Walhasil, peternak tetap tidak akan bisa mengubah drastis keadaannya, meski berbagai program membutuhkan komoditinya selama kapitalisme masih ditanam di negeri ini. Maka benarlah firman Allah taala pada surah Al-Maidah ayat 50 yang berbunyi,

”Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”

Sehinggah sudah seharusnya kita kembali berkaca pada solusi yang hakiki yaitu Islam. Dalam pemerintahan berdasarkan syariat Islam, swasembada pangan adalah keniscayaan. Sebuah negara akan kuat dan berdaulat jika ditopang oleh kemandirian. Salah satunya adalah tidak bergantung pangan pada negara lain. Dalam Islam, pangan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi negara. Untuk itu, dibutuhkan seorang khalifah dan jajarannya yang amanah dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugasnya dengan dorongan keimanan.

Dalam memenuhi tanggung jawab swasembada, negara akan memastikan kesediaan pangan tetap terjaga. Untuk itu, negara Islam akan mengatur dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Negara akan mengatur tata kota agar jelas mana lahan yang akan digunakan untuk lahan pertanian dan peternakan juga lahan perumahan dan fasilitas umum. Pun, negara akan berusaha meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi dengan penyediaan bibit, pupuk, dan mencari metode paling pas untuk hasil maksimal.

Selain itu, negara juga akan mengatur sedemikian rupa masalah produksi dan distribusi dan memastikan setiap individu rakyat mendapat haknya. Negara jika tidak menafikan impor jika dirasa bahwa kebutuhan dalam negeri kekurangan karena masalah paceklik atau musibah. Akan tetapi, negara tidak akan melakukan perdagangan dengan negara kafir harbi fi’lan yang jelas-jelas memusuhi kaum muslim. Dengan metode tersebut, negara akan bisa meminimalisasi biaya sehingga harga barang bisa dijangkau oleh khalayak. Pun, dengan swasembada pangan, negara akan mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Wallahu’alam.[]


*) Pegiat Literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.