Marak Kekerasan Terhadap Perempuan, Mau Sampai Kapan?
Oleh: Ummu Zhafran*)
IndonesiaNeo, OPINI - Kembali, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) digelar. Dari tanggal 25 November hingga 10 Desember, aktivitas ini diharapkan jadi mercu suar guna mewujudkan langkah nyata demi menghentikan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia (liputan6.com, 25-11-2024).
Tahun 2024 ini menandai 25 tahun sejak PBB menetapkan 25 November, sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Jelaslah bahwa kampanye 16 hari yang dilakukan ini merupakan agenda global sebagaimana hari-hari lainnya seperti hari AIDS, hari Ibu, dan masih banyak lagi.
Memang isu kekerasan terhadap perempuan dan anak masih jadi primadona. Bagaimana tidak, mengutip data PPA Sultra 2024 saja, tercatat sebanyak 192 kasus. 23 di antaranya terjadi di kota Kendari (kendaripos.co.id, 18-11-2024).
Ada pun bentuk kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan fisik, psikis, eksploitasi, penelantaran, hingga kekerasan seksual, yang mayoritas pelakunya berasal dari orang terdekat korban. Miris, di saat kesetaraan dan pemberdayaan perempuan masif disuarakan, kekerasan terhadap makhluk lemah ini juga meningkat ekuivalen.
Betapa langkah dan program telah bertubi dicanangkan. Mulai dari yang lama, baru maupun yang masih sebatas wacana. Yang disebut terakhir biasanya bagian dari program kerja para kandidat kepala daerah jelang Pilkada sebentar lagi. Khusus untuk kota Kendari, tiap pasang calon pemimpin mengusung misi masing-masing terkait masalah perempuan. Mulai dari akan diadakannya rumah singgah, Unit Pelaksana Teknis di dinas terkait khusus menangani problem perempuan, fasilitas modal UMKM guna mendorong perempuan berdaya, dan masih banyak lagi lainnya.
Sudah tentu implementasi dari semua rancangan di atas layak dinantikan. Namun tak salah kiranya jika publik bersikap kritis, akankah menuntaskan masalah? Karena penting diingat, sudah banyak gagasan bahkan produk Undang-undang yang disahkan tapi belum juga dapat menghentikan berbagai kasus kekerasan. Sebabnya hanya satu, belum satu pun yang menyentuh akar masalahnya.
Sekularisme, Biang Kerok!
Seperti kata pepatah, tiada asap tanpa api. Memang tak terjadi kekerasan tanpa ada penyebabnya.
Kekerasan dalam bentuk apa pun yang menimpa perempuan bukan semata salah laki-laki yang tidak mampu menahan amarah dan hawa nafsu. Bukan pula semata salah perempuan yang kurang tahu dan menjaga diri, melainkan lebih kepada sistem kehidupan sekuler kapitalisme yang menjadikan pria dan wanita hidup tanpa aturan jelas. Bahkan sampai melenyapkan rasa takut kepada Allah azza wa jalla karena dipisahkannya aturan agama dari kehidupan.
Tak hanya itu, sekularisme juga memicu lahirnya sikap individualis yang berakibat pada rendahnya kepedulian masyarakat dalam mencegah kekerasan. Juga absennya sistem pendidikan yang mencetak pribadi yang bertakwa dan sarat empati serta tumpulnya penegakan hukum yang tidak memberi efek jera. Bahkan tak memberi sanksi apa pun bila tindakan zina, misalnya, dilakukan atas dasar suka sama suka. Keseluruhan hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari mengadopsi aturan yang berasas pada sekularisme-kapitalis seperti sekarang ini.
Perempuan Mulia dengan Islam Kafah
Kapitalisme jelas gagal melindungi dan mencegah perempuan dan anak dari kekerasan. Timbunan kasus yang masih terus terjadi lebih dari cukup sebagai saksi bisunya. Bertolak belakang dengan Islam.
Dalam Islam, wajib hukumnya melindungi dan memuliakan perempuan. Sepanjang hidupnya, wanita selalu ditempatkan dalam posisi terlindungi dan terjamin semua kebutuhannya, baik oleh orang tua semasa gadis maupun oleh suami setelah menikah. Pun jika kedua piha tersebut tak mampu, kerabat hingga negara wajib menanggung.
Lebih dari itu, Allah Swt. berfirman,
“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS An-Nisa: 124).
Maka Islam mewajibkan pula negara menjamin terwujudnya sinergi peran antara pria dan wanita. Andai pun terjadi kekerasan dalam bentuk pelecehan, maka negara tak ragu mengambil langkah melindungi kehormatan perempuan. Ingat lagi peristiwa pelecehan seorang muslimah di Amuria yang menyebabkan Khalifah Al-Mu’tasim saat itu, mengirim pasukan dan menaklukkan seluruh wilayah tersebut.
Begitulah negara hadir secara langsung melindungi kemuliaan perempuan. Dimulai dari menjamin kebutuhan setiap rakyat hingga terpenuhi serta membuka lapangan pekerjaan yang memadai karena bekerja itu hukumnya wajib bagi kepala keluarga. Tak ketinggalan sanksi bagi pelaku kekerasan diterapkan sesuai syariat dan mutlak harus berefek jera. Alhasil tiada lagi alasan melakukan kekerasan. Sayangnya seluruh kebijakan di atas dapat terwujud hanya jika negara menerapkan syariah yang rahmatan lil alamin secara kafah, tidak yang lain. Wallahua’lam.[]
*) Pegiat literasi
Post a Comment