Money Politik Menghiasi Pesta Demokrasi
IndonesiaNeo, OPINI - Jelang pilkada serentak yang tidak lama lagi akan dilaksanakan, yakni pada tanggal 27 November 2024 mendatang, menghadirkan pasangan calon kepala daerah dari berbagai wilayah yang akan maju bertarung untuk memperebutkan posisi Gubernur, Bupati dan Walikota. Para calon kepala daerah kini tentu semakin gencar mempromosikan dirinya, merayu masyarakat dengan visi misinya bahkan tak jarang ada yang menyebar serangan fajar agar pilihan rakyat tertuju padanya.
Tentu masyarakat harus lebih waspada terhadap serangan fajar atau politik uang. Dilansir dari Tribun Kalteng.com "Berdasarkan data KPK tahun 2019, sebanyak 72 persen pemilih menyatakan pernah menerima money politik karena faktor ekonomi, tekanan, hingga lemahnya pencegahan hukum," katanya, Minggu (27/10/2024).
Serangan fajar sudah menjadi rahasia umum menghiasi pesta demokrasi berlangsung, baik itu pemilu maupun pilkada. Padahal praktik serangan fajar bisa terkena sanksi pidana. Mengutip dari Pasal 515 dan pasal 523 ayat 1-3 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang. Namun, juga bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang, di luar ketentuan bahan kampanye. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 ayat 2 dan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2018. Aturan mengenai bahan kampanye yang diperbolehkan oleh KPU dan bukan termasuk dalam serangan fajar dijelaskan rinci.
Sistem Demokrasi Minus Integritas
Dalam sistem demokrasi, tawaran jabatan tentu sangat menggiurkan. Hal ini membuat banyak orang yang berlomba-lomba ingin menjadi pejabat, menjadi pemimpin dengan menghalalkan segala cara, salah satunya praktik serangan fajar.
Lemahnya hukum untuk menindak kasus ini, hingga politik transaksional dimana rakyat berbondong-bondong mengarahkan dukungannya pada paslon tertentu yang memberikan uang agar bisa dipilih, menunjukkan betapa murahnya harga yang harus dibayar untuk menjadi wakil rakyat. Padahal, menjadi wakil rakyat tentu tak sereceh itu. Para paslon harus punya kapasitas, integritas dan punya arah yang jelas dalam memimpin. Namun, sekali lagi sistem demokrasi memuluskan jalan para calon wakil rakyat yang tak punya integritas ini untuk memegang amanah besar yang kemungkinan besar tak dapat mereka jalankan.
Paham kapitalis, dimana keuntungan materi menjadi tujuan semata telah menancap kuat dalam benak masyarakat sehingga membuka peluang besar bagi para calon wakil rakyat yang hanya punya modal uang dan popularitas bukannya kemampuan untuk menjadi wakil rakyat.
Pemimpin Jujur Hanya Ada dalam Sistem Islam
Praktik serangan fajar adalah termasuk sikap suap menyuap dimana perbuatan ini terkategori haram dan sangat jelas telah dilarang dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda “Dari Abu Zur'ah dari Tsauban berkata: Rasululloh SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap serta perantara keduanya”.
Dalam Islam, hukum syara' adalah standar perbuatan manusia. Artinya, dalam segala perbuatannya, manusia harus memperhatikan apakah halal atau haram aktivitas yang dilakukannya karena ridho Allah menjadi tujuan utama. Maka, pemimpin-pemimpin yang lahir dari sistem Islam tentu akan selalu memperhatikan perbuatannya agar tidak melanggar hukum syara'.
Dalam Islam, seorang pemimpin tidak harus punya banyak uang, cukup memenuhi standar yang sudah Islam tetapkan, harus laki-laki, muslim dan sebagainya. Karena masyarakat paham betul bahwa pemimpin yang akan mereka pilih adalah dia yang taat pada Allah dan akan menjalankan kepemimpinannya sesuai aturan Allah yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tentu pemimpin seperti ini akan sulit ditemukan dalam sistem demokrasi. Maka, jika kita kembali pada Islam, pemimpin yang taat dan berintegritas tinggi akan sangat mudah didapatkan. Wallahu'alam.[]
Post a Comment