Header Ads


Pajak Kian Mencekik, Dusta Sejahtera dalam Negara Kapitalistik


Oleh: Yuliana Ummu Fikri*) 


IndonesiaNeo, OPINI - Setelah naik 11 persen di tahun 2022, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan resmi naik kembali ke angka 12 persen di tahun 2025. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Kenaikan ini tertuang dalam amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan DPR RI pada 29 Oktober 2021. Penyesuaian tarif  PPN 12 persen diimplementasikan paling lambat 1 Januari 2025.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut, kenaikan tarif PPN juga bertujuan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara OECD (The Organization for Economic Cooperation and Development). Pasalnya, saat ini tarif PPN Indonesia masih berada di bawah rata-rata tarif negara lain.  Pemerintah Indonesia memang berambisi untuk segera menjadi negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang mengusulkan tarif global minimum tax atau pajak minimum global (GMT) dengan tarif efektif minimum 15 persen. Dengan begitu, Indonesia akan cepat masuk menjadi anggota OECD untuk memperbaiki regulasi sesuai standar internasional.


Pajak Naik, Rakyat Tercekik

Dalam www.pajakku disebutkan, Hubungan kenaikan PPN dengan kesejahteraan masyarakat memiliki implikasi positif dan negatif. Dari sudut pandang negatif, kenaikan PPN akan memancing reaksi beragam dari masyarakat, terlebih sebelumnya sudah ada kenaikan lain seperti penetapan pajak bahan bakar minyak (BBM) kendaraan motor non-listrik, hingga melambungnya harga bahan pokok seperti beras yang masih terjadi. Kenaikan PPN akan cukup berpengaruh terhadap willingness to pay (keinginan untuk membayar) masyarakat menengah. Semakin tinggi PPN, maka semakin tinggi juga harga BKP (Barang Kena Pajak)/JKP (Jasa Kena Pajak) yang diperjualbelikan.

Semebtara, dalam sudut pandang positif, sejatinya PPN merupakan salah satu kontributor penerimaan negara terbesar. Pada kenaikan sebelumnya, PPN 11 persen cukup berdampak positif terhadap penerimaan negara dengan total kas negara sebesar Rp80,08 triliun hingga akhir Maret 2023. Dalam hal ini, PPN berperan vital sebagai sumber pendanaan kebutuhan bangsa yang semakin meningkat setiap tahun. Oleh karena itu, kenaikan menjadi hal mendasar untuk menambah jumlah pendapatan negara.   

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, rencana kenaikan tarif PPN pada 2025 sebaiknya dibatalkan karena kelas menengah akan menjadi pihak yang paling merana. Kenaikan harga beras, suku bunga tinggi, dan sulitnya mencari pekerjaan, menyebabkan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah melemah. PPN 12 persen, akan menyempurnakan tekanan ekonomi kepada kelas mayoritas ini. Bila ingin mendorong rasio perpajakan, pemerintah harus memperluas objek pajak. Strategi ini dilakukan dengan cara memungut pajak lebih besar dari sumber yang sudah teridentifikasi dengan cara memperluas objek pajak.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terjadi penurunan jumlah kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Tercatat pada 2019, jumlah kelompok kelas menengah sebanyak 57,33 juta orang. Pada 2024 jumlahnya merosot menjadi 47,85 juta orang. Artinya, hampir 10 juta orang di kalangan menengah turun kasta.  Kenaikan PPN dari tahun ke tahun jelas dan pasti berpengaruh terhadap makin menurunnya kelompok kelas menengah menjadi kelas bawah. Padahal, kelompok tersebut merupakan penopang perekonomian nasional.  

Kenaikan PPN akan membuat upah riil masyarakat turun, biaya hidup makin meningkat, daya beli masyarakat menurun, dan konsumsi masyarakat akan melambat. Perusahaan akan mengurangi biaya dengan PHK atau mengurangi gaji. Sehingga, meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan akibat kenaikan pajak tidak bisa terhindarkan. Kebijakan menaikkan pajak ini benar-benar tidak mempertimbangkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah seolah menutup mata atas penderitaan rakyatnya. Sehingga, ketika memutuskan kebijakan, sering kali tidak berpihak terhadap kepentingan masyarakat luas.


Dusta Sejahtera dalam Negara Kapitalistik

Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh individu atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. Slogan pajak dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat seolah menggambarkan manfaat pajak akan diperuntukkan bagi kebutuhan rakyat  dan negara dalam menunjang kemakmuran rakyat, yakni mendorong pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, juga kantor polisi. Pajak juga digunakan untuk mensubsidi barang-barang yang sangat dibutuhkan masyarakat dan juga membayar utang negara ke luar negeri.

Oleh karenanya, Sri Mulyani menegaskan bahwa pajak merupakan alat bagi Indonesia untuk menjadi negara sejahtera, bahkan berkemajuan. Dengan pajak pula, menurutnya, masyarakat punya harapan untuk keluar dari kemiskinan, termasuk dengan memperoleh hak dasar pendidikan, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah terluar dan terpencil dari kawasan Indonesia.

Pada kenyataanya, narasi ini tak lebih dari sekadar pepesan kosong yang hingga saat ini belum ada wujudya. Narasi menyesatkan ini diopinikan agar pemerintah bebas menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak. Mengingat sektor pajak merupakan andalan utama yang men-support lebih dari 80 persen pos penerimaan negara. 

Sungguh, pemerintah melakukan segala cara demi meyakinkan bahwa pajak bukanlah kezaliman, melainkan sebuah keniscayaan, bahkan kemestian yang perlu didukung oleh rakyat dengan penuh pengertian dan kebahagiaan dengan satu mantra sakti “Orang bijak taat pajak”.

Tampak pemerintah mati gaya, nyaris tidak punya alternatif cara untuk mengisi kantong kas negara selain dengan mengintensifkan penerimaan pajak. Berbagai celah yang memungkinkan untuk menarik uang rakyat pun terus dibongkar. Sampai-sampai, pemanfaatan sektor jasa layanan publik, serta kegiatan usaha kecil pun tidak luput dari pajak . Inilah watak asli  pemerintah yang dibutakan oleh sistem kapitalisme. Memalak rakyat melalui pajak menjadi kebijakan andalan dan prioritas dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi.

Tak kalah memilukan, ternyata kewajiban membayar pajak hanya berlaku untuk masyarakat kelas bawah. Demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar, pemerintah justru menghapus beberapa pajak bagi investor. Kemenkeu telah memutuskan pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN) berupa Tax Holiday Penanaman Modal sebesar 100 persen untuk badan usaha yang mau menanamkan modal di IKN. Pun, pengurangan PPh 100 persen atau 85 persen  untuk badan yang bergerak di sektor keuangan IKN yang berlaku selama 20 atau 25 tahun. Kebijakan pilih kasih ini menunjukkan bahwa pemerintah berwatak kapitalis ini sedang menimbang segi untung ruginya. Demi terwujudnya ibu kota negara yang baru, yang dianggap mempunyai keuntungan lebih besar, maka pemerintah memberikan penghargaan pada badan usaha/keuangan dengn tidak membayar pajak penghasilan.

Walhasil, kesalahan terbesar penguasa negeri ini adalah mengadopsi sistem kapitalisme terutama sistem ekonominya. Dalam sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, kebebasan berkepemilikan (freedom of ownership) dengan memberikan ruang besar bagi mereka yang kuat modal untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Tidak melihat sumber ekonomi tersebut menguasai hajat hidup orang banyak ataukah tidak.

Sebagai timbal baliknya, negara memungut pajak dari penghasilan badan usaha ataupun orang pribadi agar bisa membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Padahal, jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan sumber-sumber ekonomi tersebut dikelola langsung oleh negara sebagai kepemilikan umum.

Inilah yang menyebabkan APBN selalu mengalami defisit dan harus ditambal dengan utang. Jika ditelaah, menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara adalah kebijakan yang salah, karena negara masih memiliki sumber-sumber pendapat lainnya. Sayangnya, konsep liberalisme dalam naungan sistem ekonomi kapitalisme telah melegalkan privatisasi SDA yang dinikmati oleh para pemilik modal. Sementara, rakyat harus membayar mahal untuk mengaksesnya. Padahal, sejatinya SDA merupakan harta kepemilikan umum yang semestinya dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Inilah bukti bahwa dalam naungan kapitalisme, negara hanyalah berperan sebagai regulator bagi kepentingan para pemilik modal.


Jaminan Kesejahteraan dalam Naungan Khilafah

Islam mewajibkan Khilafah mengurusi rakyatnya. Islam sebagai ideologi sempurna telah mewajibkan negara (Khilafah) melindungi harta rakyat dan menjamin kehidupan mereka. Rakyat adalah amanah. Mereka layaknya gembalaan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh penggembalanya. Nabi saw. bersabda,

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad)

Rasulullah saw. sebagai kepala Negara Islam di Madinah dan Khulafaurasyidin, selain menerapkan hukum-hukum Allah Swt., juga diperintahkan untuk menjaga hak-hak kaum muslim beserta seluruh rakyat untuk menjamin kebutuhan hidup mereka. Rasulullah saw., misalnya, menyediakan dokter yang beliau terima dari Raja Mesir untuk melayani umat. Beliau juga menyediakan jaminan hidup untuk para Ahlusuffah yang merupakan kaum duafa dan para pencari ilmu di Madinah.

Kewajiban mengurus umat ini diteruskan oleh Khulafaurasyidin. Khalifah Umar bin Khaththab ra., misalnya, membangun dar ad-daqiq sebagai rumah singgah untuk para musafir. Di sana mereka boleh makan dan beristirahat. Beliau pun menyediakan pendidikan untuk kaum muslim dan memberikan gaji yang layak untuk para pengajar sebesar 15 dinar. Khalifah Umar ra. juga memberikan insentif untuk anak-anak. Khalifah berikutnya, Utsman bin Affan ra., memberikan insentif 1 dirham setiap hari untuk kaum muslim selama Ramadan.

Para Khalifah dari Bani Umayah juga melanjutkan kewajiban mengurus umat seperti membangun rumah-rumah sakit, termasuk rumah sakit khusus untuk penderita kusta secara gratis. Ini adalah rumah sakit pertama untuk penderita kusta dalam sejarah dunia. Mereka juga mendirikan rumah-rumah panti jompo, juga rumah-rumah untuk orang-orang yang tersesat. Mereka pun melakukan pelunasan utang warga yang dililit utang, melakukan pembebasan tawanan muslim, serta subsidi nikah. Pada periode 120—126 H, Kekhalifahan Umayah menganggarkan dana sebanyak 10 ribu dirham untuk penanganan bencana dan pemerdekaan budak.

APBN Negara Khilafah melimpah untuk kebutuhan rakyat. Pos pendapatan dalam APBN Negara Islam menurut Zallum (2003) terdiri dari 12 kategori: pendapatan dari harta rampasan perang (anfal, ghanimah, fai dan khumus), pungutan dari tanah yang berstatus kharaj, pungutan dari nonmuslim yang hidup dalam negara Islam (jizyah), harta milik umum( SDA seperti hutan, laut  tambang yang depositnya besar, seperti, emas, nikel, gas, minyak, batu bara dll), harta milik negara, harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyur), harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram, harta rikaz dan tambang, harta yang tidak ada pemiliknya, harta orang-orang murtad, pajak, dan zakat.

Al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menyatakan bahwa sumber-sumber pendapatan yang telah ditentukan syariat Islam bisa mencukupi APBN Khilafah. Oleh karena itu, Khilafah tidak membutuhkan lagi pungutan pajak, baik secara langsung atau tidak langsung (An-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 242).

Di samping itu, syariat Islam mengharaman siapapun termasuk penguasa mengambil pungutan harta tanpa hak dan tidak sesuai syariat. Sebagaiman diperingatkan oleh Nabi saw.,

“Siapa saja yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya (secara tidak benar, red.) maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan dia masuk surga.” Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu arak (kayu untuk siwak).” (HR Ahmad).

Khusus untuk pemungut pajak, ada ancaman dari Nabi saw., “Sungguh para pemungut pajak (diazab) di neraka.” (HR Ahmad).

Syariat Islam membolehkan Khalifah memungut Dharibah dalam kondisi kas negara kosong, untuk pembiayaan yang wajib. Pungutan bersifat sementara dan dipungut dari kaum muslim yang kaya. Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Taala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129).

Adapun pembiayaan yang wajib bagi kaum muslimin dalam kondisi kas negara kosong meliputi beberaoa hal. Pertama, untuk memenuhi biaya kepada fakir, miskin, ibnu sabil, dan pelaksanaan kewajiban jihad. Kedua, untuk memenuhi biaya sebagai ganti jasa dan pelayanan kepada negara seperti gaji para pegawai, gaji tentara dan, santunan para penguasa. Ketiga, untuk biaya mewujudkan kemaslahatan dan pembangunan tanpa biaya pengganti, seperti, pembangunan jalan raya, pengadaan air, pembangunan masjid, sekolah, dan rumah sakit. Keempat, untuk kebutuhan dalam keadaan darurat dan bencana mendadak, seperti bencana kelaparan, angin topan, atau gempa bumi.

Demikianlah, Sejarah Islam juga mencatat, bukan hanya rakyat yang sejahtera, tetapi Baitul Mal kaum Muslim juga penuh dengan harta yang berasal dari berbagai pelosok negeri kaum muslim. itu bukanlah harta dari pajak (dharibah), bukan pula harta yang berasal dari utang, atau pun harta-harta yang haram, melainkan harta yang berasal dari seluruh pos pemasukan yang telah disyariatkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya. Tidak ada pos pemasukan dari harta yang batil. Rakyat Negara Khilafah memperoleh pemberian dari harta Baitul Mal dengan harta yang halal lagi berkah, dari harta yang memang menjadi hak mereka sebagai warganegara.

Dalam sistem Islam kekuasaan dan para penguasa yang benar-benar me-riayah (mengurusi) umat. Dengan dorongan takwa, para penguasa Islam bekerja keras untuk melindungi dan menjamin kehidupan rakyat. Sebabnya, mereka tahu bahwa jabatan mereka bisa menjadi bencana bagi mereka pada hari akhir jika mereka menelantarkan amanah, mengabaikan urusan rakyat, apalagi sambil memperkaya diri sendiri.  Wallahu ‘alam bishawwab.[]


*) Pegiat Literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.