Header Ads


Marak PHK di Sultra, Anomali Sektor Pertambangan?

Oleh: Ummu Zhafran*)


IndonesiaNeo, OPINI - Jelang tahun baru, kondisi makin tak baik-baik saja. Salah satunya tampak dari masuknya Sultra  dalam 10 besar provinsi dengan jumlah PHK terbesar di Indonesia. Mengutip data dari Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja (Kadis Transnaker) Sultra,  sebanyak 1.127 karyawan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga Desember 2024. (tribunnews.com, 26-12-2024)

Menariknya, penyumbang terbesar kasus PHK di Sultra datang dari sektor pertambangan. Alasannya antara lain karena berkurangnya hasil produksi tambang yang dihasilkan. Jujur, seperti sebuah anomali. Di tengah bertubi-tubi ditemukannya sumber  tambang baru di wilayah ini serta euphoria berbondong-bondongnya warga melamar kerja di sektor tambang, justru datang kabar buruk mengenai PHK. Miris.

Bisa dibayangkan apa jadinya bila hal ini kemudian berlanjut. Akankah harapan yang dipupuk warga selama ini terhadap jaminan kesejahteraan dari bekerja di sektor tambang akan pupus ke depannya? Entah, hanya waktu yang bisa menjawabnya.


Tak Ada Jaminan bagi Pekerja

Lepas dari semua hal di atas, penting untuk membahas dari sisi betapa lemahnya posisi tawar karyawan di hadapan perusahaan. Mengapa bisa demikian? Jawabnya sederhana. Karena sistem ekonomi yang diterapkan di negeri ini bersandar pada kapitalisme, hal yang telah banyak ditengarai oleh para pakar dan pengamat politik dalam dan luar negeri. Ideologi kapitalisme ini memandang pekerja sebagai bagian dari komponen produksi. Karenanya harus diminimalkan guna mencapai keuntungan lebih besar. (wikipedia).

Ekonomi kapitalis menempatkan buruh tak lebih sebagai bagian dari produksi atau ibarat mesin yang menjalankan produksi di suatu perusahaan. Akibatnya, nasib buruh sangat bergantung pada perusahaan. Terbukti, gelombang PHK yang menimpa buruh terus terjadi tanpa ada yang bisa menghalangi.

Terlebih, jamaknya negara dalam bingkai kapitalisme,  tak mengambil peran langsung dalam memberi jaminan kepada para pekerja melainkan sebatas regulator dan mediator yang menengahi di antara karyawan dan perusahaan.

Tak berhenti sampai di situ. Sejak  Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing ditandatangani, keruwetan pun makin bertambah.

Perpres  ini dari awal  ditujukan untuk mempermudah tenaga kerja asing (TKA) masuk ke Indonesia.  Terbitnya Perpres saat itu digadang-gadang untuk peningkatan investasi dan perbaikan ekonomi nasional serta transfer pengetahuan dan teknologi.

Persoalannya, benarkah demikian?  Di bawah bayang-bayang sekitar 7,47 juta warga yang butuh pekerjaan (detik.com, 6-11-2024),  ternyata berlaku sebaliknya.  Fenomena  pekerja asing yang membludak di Morowali Industrial Park, Sulawesi Tengah misalnya. Bukan rahasia lagi jika mereka menempati posisi mulai dari level top manajer hingga janitor (petugas kebersihan). Lalu alih teknologi macam apa yang bisa diharapkan terjadi?


Lapangan Kerja Terjamin dengan Islam

Mengapa Islam? Oh ya, tentu saja karena konsekuensi iman menuntut demikian. Bagian dari buah keimanan kita adalah untuk tidak pernah meragukan  kebenaran Al Qur’an yang merupakan pedoman hidup di dunia dan siap menaati seluruh yang datang dengannya. Islam dalam hal ini mewajibkan negara mengurusi segenap urusan rakyatnya, tanpa kecuali.

Rasul saw.  bersabda, “Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Maka dalam hal lapangan kerja, misalnya, Islam memberi mandat pada negara, yaitu Khalifah sebagai kepala negara, untuk menyediakan kesempatan  yang memadai bagi warga negaranya. Khususnya bagi setiap laki-laki yang memang hukumnya wajib bekerja guna menafkahi keluarganya. 

Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah menegur orang-orang yang berdiam di masjid pada jam kerja yang berdalih karena tawakal pada Ilahi.  Beliau langsung menuding mereka hanya malas bekerja, sementara mereka tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak. Kemudian Khalifah mengusir mereka dari masjid dan membagikan gratis setakar biji-bijian untuk ditanam agar kelak bisa dikelola  sendiri hasilnya.

Islam mengatur pula soal pengelolaan sumber daya alam (tambang minerba, migas) sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Dari hadis di atas jelaslah tambang merupakan milik umum, tidak boleh dimiliki atas nama individu maupun  swasta baik lokal maupun asing. Negara, menurut Islam, wajib mengelola tambang bukan dengan prinsip bisnis yang orientasinya profit, melainkan untuk kemaslahatan sebesarnya bagi rakyat.

Dengan sendirinya Islam menutup ruang bagi adanya privatisasi tambang, maupun SDA lain yang semuanya berstatus kepemilikan umum. Di sinilah jaminan lapangan kerja oleh negara dapat terwujud dengan mudah. Sungguh Islam niscaya membawa rahmat bagi seluruh alam, asalkan kafah diterapkan. Wallahua’lam.[]


*) Pegiat Literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.