PPN Merangkak Naik, Rakyat Makin Tercekik
Oleh: Harnita, S.Pd.*)
IndonesiaNeo, OPINI - Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan ditetapkan (republika.co.id, 14/12/2024). Hal itu sesuai dengan beleid soal harmonisasi peraturan perpajakan. Saat ini, tarif PPN adalah sebesar 11 persen. Penerapan tarif PPH tersebut sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Aturan tersebut menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Berbicara terkait dengan perekonomian memang tidak ada habisnya apalagi ranahnya sudah sampai ketahap negara. Bagaimana tidak kebijakan fiskal ini selalu menjadi hal yang menarik karena bersinggungan langsung dengan hajat orang banyak.
Sebagai instrumen fiskal, PPN memang menjadi salah satu andalan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. PPN merupakan pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam negeri. Tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dengan langkah ini apakah mampu menggerakkan ekonomi secara berkelanjutan, atau justru menjadi beban tambahan bagi masyarakat?
Faktanya beban masyarakat semakin meningkat, dengan adanya PPN yang akan dinaikkan tarifnya tentu dampaknya akan menurunkan daya beli masyarakat. Di tengah tantangan ekonomi global dan ketidakpastian pasca-pandemi, keputusan untuk menaikkan tarif pajak harus diikuti dengan strategi mitigasi yang komprehensif.
Kesengsaraan rakyat makin begitu nyata, jika sistem kapitalisme yang menjadi pijakan kita, pajak digunakan sebagai sumber pemasukan negara. Akibatnya, rakyat menjadi biang yang terus dipalak melalui berbagai pungutan/pajak, termasuk PPN yang bersifat regresif, yakni membebani semua kalangan, termasuk golongan berpenghasilan rendah. Hal ini pun dilakukan secara berulang. Tentu situasi ini adalah situasi yang tidak kita inginkan.
Maka dari itu islam lah solusi kita. Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi ra’in, mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab.
Seperti dalam sabda Rasulullah saw. “Tidaklah seorang hamba yang telah Allah beri amanah untuk mengurus urusan rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan memperdaya rakyatnya, kecuali ia tidak akan mencium bau surga.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Pengurus rakyat tentu tidak pantas memalak rakyatnya dengan aneka pajak. Rasulullah saw. pun bersabda, “Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai).” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim).
Islam menetapkan berbagai sumber pemasukan negara. Seperti di kutip dari Syekh Abdul Zallum (2003), terkait pemasukan dalam APBN Khilafah Islam, ada 12 kategori. Di antaranya pemasukan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumûs), pungutan dari tanah kharaj, pungutan dari nonmuslim (jizyah), harta milik umum, harta milik negara, harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr), harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram, zakat, dst. (Syekh Abdul Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 30).
Sehingga Pajak bukanlah sumber utama negara, bahkan hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas dalam kosong sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan.
Wallahu a'lam bishawab.
*) Pegiat Literasi
Post a Comment