Header Ads


Duet Pengusaha dan Penguasa Kelola Aset, untuk Kepentingan Siapa?

Oleh: Ummu Zhafran*)


IndonesiaNeo, OPINI - Baru-baru ini Pemkot Kendari dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Kendari sepakat menjalin kerja sama guna mengelola aset daerah. Tujuannya seperti yang diberitakan kantor berita nasional, untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ada pun aset yang dimaksud antara lain, anjungan Teluk Kendari, lahan untuk wisata kuliner, dan lahan untuk pergudangan di area Pelabuhan Bungkutoko (antaranews, 14/01/2025).

Lebih lanjut menurut Kadin, yang juga diaminkan pihak Pemkot,  investasi di Kota Bertakwa ini cukup menggairahkan, namun kurang menghasilkan dari sisi ekonomi. Sehingga butuh investasi dari investor untuk mempercepat proses pembangunan serta menggerakkan roda perekonomian.

Menarik. Soal  roda ekonomi dan kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan selalu penting dibincangkan. Sebab, aset yang dibicarakan adalah aset daerah. Idealnya, ada hak bagi setiap warga untuk dapat mengakses secara luas, mudah dengan biaya terjangkau. Namun apa jadinya bila para pemilik modal yang dikenal profit-oriented ikut mengelola? Akankah akses masyarakat akan terbatas, harga melambung, dan kesulitan bertambah? 

Jika terbetik keresahan dalam benak publik seperti deretan pertanyaan di atas, hal itu wajar. Sebab indikasinya memang mengarah ke sana. Tak perlu jauh mengambil contoh. Kasus heboh soal pagar laut yang kini terindikasi dibangun pihak swasta misalnya, sudah diakui menyulitkan para nelayan setempat. Areal tempat mencari ikan jadi terbatas, meningkat pula ongkos bahan bakar kapal yang digunakan (Indonesialawyersclub_Youtube, 18/01/2025).

Tak berhenti sampai di situ saja. Benar secara teori ekonomi kapitalisme, bahwa investasi merupakan hal penting karena dapat menambah pendapatan daerah. Dengannya diharapkan  pembangunan dapat berlangsung, rakyat sejahtera,  terangkat dari kemiskinan.

Sayang, realitasnya tidak demikian. Investasi, bahkan di sepanjang catatan sejarah negeri ini nyatanya tidak signifikan menurunkan angka kemiskinan, pun  jumlah pengangguran.  Tahun 2023, jumlah penduduk miskin di Kota Kendari sebesar 19.240 jiwa. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2024 menjadi 18.200 jiwa. 

Tapi sebagai catatan, garis kemiskinan ada di nominal Rp516.809 per bulan (kendariinfo, 02/01/2025). Artinya, seseorang dengan  pendapatan lebih dari Rp516.809/bulan sudah tidak tergolong miskin. Sudah tentu tanpa memandang cukup tidaknya penghasilan tersebut membiayai kebutuhan sehari-hari yang penting seperti konsumsi, transportasi, pendidikan, maupun kesehatan. Sementara angka pengangguran di tahun ini meningkat menjadi 5,67% dibanding tahun lalu. Penyebabnya justru karena banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) (rri.co.id, 14/11/2024). Miris.

Terlihat jelas betapa rakyat sejatinya sangat minim menikmati apa yang dijanjikan lewat investasi. Bahkan meningkatnya PAD pun belum menyentuh semua yang menjadi kebutuhan vital bagi rakyat. Untuk memenuhi apa yang dibutuhkan setiap harinya, rakyat dibiarkan berjuang sendiri. Terbukti subsidi dikebiri, keberadaan Bansos pun tak jarang bagai kasih tak sampai. 

Kiranya inilah derita hidup dalam naungan sistem ekonomi kapitalis  produk  ideologi kapitalisme. Alih-alih sejahtera, justru mendapat  sengsara. Terlebih lagi, posisi penguasa dalam  kapitalisme hanya sebagai regulator. Maka menggandeng pihak swasta yaitu para pengusaha untuk turut mengelola pembangunan menjadi sebuah keniscayaan.

Amboi, jelaslah selama kapitalisme yang menjadi biang masalah terus dibiarkan bercokol selama itu pula derita akan ada. Jadi teringat satu pepatah, hanya keledai yang jatuh dua kali di lubang yang sama. Sudah saatnya publik memetik hikmah di balik masalah. Meninggalkan biangnya lalu mengadopsi risalah yang diturunkan Sang Maha Pencipta, Allah Swt. 

Dalam kitab karya Syekh Abdul Qadim Zallum bertajuk Al Amwal dijelaskan bagaimana syariah yang dibawa Rasulullah tak luput menetapkan kebijakan politik ekonomi bagi negara. Yaitu memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya. Pembangunan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan rakyat, setiap individunya tanpa membedakan suku, ras maupun agama. Adapun jika membangun infrastruktur, akan diarahkan untuk memudahkan kehidupan rakyat secara keseluruhan, dengan biaya terjangkau bahkan tak mustahil cuma-cuma. 

Sementara baitulmal yang menjadi basis sistem keuangan negara dalam Islam ditugaskan mengelola pendapatan dan pengeluaran. Untuk pengeluaran, akan fokus pada kebutuhan mendasar dan pelayanan publik. Membayar riba yang haram hukumnya jelas tak akan masuk jadi salah satu sebab keluarnya uang negara. Sedangkan penerimaan, baitulmal memiliki 12 pos, antara lain hasil dari mengelola  sumber daya alam yang berasal dari hutan, laut, dan mineral, zakat untuk delapan ashnaf, ghanimah, jizyah, pajak dan lain-lainnya. Khusus yang disebut terakhir hanya berlaku jika negara mengalami kondisi genting seperti bencana alam, wabah penyakit dan musibah lainnya. Uniknya, setelah kebutuhan negara tercukupi dan kondisi pulih, pungutan pajak pun dihentikan.

Akhir kalam, sangat terlihat jelas pembangunan dalam sistem Islam diarahkan untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Bukan demi keuntungan maupun profit bagi segelintir orang. Hanya saja, yang demikian ini bisa terwujud andaikan syariah diterapkan secara kafah dalam kehidupan, semata karena konsekuensi iman. Wallahua’lam.[]


*) Pegiat literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.