Pajak dalam Sistem Kapitalisme Gagal Menyejahterakan Rakyat
Oleh: Khadijah, S. Si*)
IndonesiaNeo, OPINI - Sebagai negara penganut sistem ekonomi kapitalisme adalah keniscayaan ketika menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara. Demikian pula dengan besaran pajak yang kerapkali meningkat dan beragam jenisnya.
Secara definisi, pajak menurut Wikipedia diartikan sebagai kontribusi wajib kepada negara oleh orang pribadi atau badan, bersifat memaksa, yang ditetapkan oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari definisi ini terlihat bahwa pajak menjadi kewajiban bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
Olehnya itu, dengan kewajiban ini dipastikan sumber pemasukan negara dari pajak tentulah besar, sehingga wajar negara menjadikannya sebagai sumber penerimaan negara utama. Dari data BPS tahun 2023 terlihat penerimaan negara dari pajak mencapai lebih dari 80 persen, sedangkan dari sektor nonpajak hanya mencapai 20 persen saja padahal negeri ini kaya akan sumber daya alam dari Sabang hingga Merauke. Ditambah lagi dengan bermetamorfosisnya pajak menjadi beragam jenis dengan nilai yang terus meningkat. Kondisi ini makin menambah beban masyarakat.
Makin Memberatkan
Salah satu pajak yang mengalami kenaikan di tahun 2025 ialah Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Kenaikan ini diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo dan berlaku mulai tanggal 1 Januari 2025. Dilansir tempo.co (1/1/2025), kenaikan PPN dilakukan bertahap yakni dari 10 % menjadi 11 % di tahun 2022 dan 11 % menjadi 12 % di tahun ini, menurut Presiden Prabowo kenaikan dimaksudkan untuk melindungi daya beli masyarakat dan mendorong pemerataan ekonomi. Pemberian paket stimulus berupa bantuan beras dan diskon listrik selama Januari-Februari 2025 diberikan untuk membantu masyarakat terdampak.
Meski kemudian kenaikan PPN ini diperuntukkan untuk barang dan jasa mewah namun pasar meresponnya dengan kenaikan harga sembako dan komoditas lainnya. Kondisi ini tak pelak makin memberatkan kehidupan rakyat khususnya menengah ke bawah, karena sifatnya terkesan tidak memandang kondisi rakyat, harga kebutuhan pokok makin melambung tinggi. Mirisnya, hal ini tidak berlaku bagi pengusaha bermodal besar, berbagai kemudahan dan keringanan pajak diberlakukan kepada pengusaha dengan dalih investasi dan lapangan pekerjaan seperti kebijakan tax amnestry dan tax holiday. Namun pada faktanya tidaklah demikian.
Pajak dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam, negara tidak menjadikan pajak sebagai tumpuan pembangunan tetapi mengandalkan pemasukan negara yang diperoleh dari berbagai sumber pemasukan negara sebagaimana telah diatur dalam sistem ekonomi Islam. Sumber pemasukan negara dapat berasal dari harta bagian fai dan kharaj seperti ghanimah, kharaj, tanah mati, jizyah, fai dan pajak, bagian zakat serta bagian kepemilikan umum meliputi migas, pertambangan, hutan, padang rumput, sungai, laut dan mata air. Mekanisme pengaturannya diatur dengan pertimbangan hukum syariat Islam.
Selain itu, berbagai pungutan apa pun yang diberikan kepada rakyat harus berdasarkan tuntutan syariat Islam dan sesuai dengan dalil dalam Al Quran dan sunnah. Pajak memang ada dalam pengaturan sistem ekonomi Islam, tetapi fakta pajak bertolak belakang dengan pungutan pajak saat ini. Dalam Islam, pajak hanya diterapkan secara insidental, yaitu hanya ketika kas negara kosong dan tidak bersifat abadi. Ketika kas negara sudah dalam kondisi normal, pajak dihentikan. Pajak hanya diwajibkan untuk muslim, laki-laki, dan yang mampu. Berbeda dengan fakta hari ini, semua orang (kaya maupun miskin) wajib membayar pajak dan berlaku seumur hidup.
Pemasukan negara yang melimpah digunakan untuk membiayai infrastruktur dan fasilitas yang dibutuhkan rakyat tanpa harus memungut pajak dari rakyat. Negara dalam sistem Islam yakni Khilafah melakukan pengelolaan sumber daya alam atau SDA yang menjadi kepemilikan umum secara maksimal demi kemaslahatan seluruh rakyat. Pihak asing atau swasta tidak diperbolehkan untuk mengelolanya.
Selain itu, negara dapat memungut pajak atau dharibah ketika kas negara atau Baitul Mal mengalami kekosongan atau negeri dilanda bencana alam, kekeringan dan masa paceklik demi memenuhi kebutuhan rakyatnya. Akan tetapi ketika kebutuhan negara telah cukup maka pungutan pajak atau dharibah dihentikan. Hal yang berbeda dalam sistem kapitalisme saat ini, di mana pajak dibebankan kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali. Inilah beberapa pengaturan pajak dalam sistem Islam / Khilafah yang menyejahterakan semua lapisan masyarakat baik yang kaya atau miskin, laki-laki dan perempuan, muslim maupun nonmuslim. Pengaturan seperti ini tidak didapati dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Wallahualam.[]
*) Freelance Writer
Post a Comment