Header Ads


Pajak dalam Sistem Kapitalisme Menyusahkan Rakyat

Oleh: Ummu Salman*)


IndonesiaNeo, OPINI - Mulai tanggal 1 Januari 2025, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) resmi dinaikkan oleh pemerintah sebesar 12%. Kenaikan tarif PPN ini merupakan buah dari pengesahan Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam pasal 7 ayat 1 huruf b, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 yang disahkan pada masa pemerintahan Joko Widodo.

Kebijakan kenaikan PPN 12% ini menuai protes dari berbagai elemen masyarakat karena dinilai akan semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Protes tersebut dilakukan baik itu melalui demonstrasi seperti yang dilakukan oleh mahasiswa dan buruh, protes di media social hingga pembuatan beberapa petisi untuk menolak kenaikan PPN. Di laman change.org misalnya, hingga tanggal 28 desember 2024 lalu, petisi tolak kenaikan PPN 12% ini telah ditandatangani sebanyak 197.753 orang. (cnnindonesia, 28/12/2024)

Padahal protes masyarakat terhadap kenaikan pajak tersebut telah disertai pengkajian dan fakta bahwa setiap ada kenaikan pajak, maka pengeluaran mereka pasti akan meningkat, sementara kenaikan ini tidak disertai dengan kenaikan gaji.

Dosen yang sekaligus diamanahi sebagai Kepala Pusat Kajian Kebijakan Publik Bisnis dan Industri ITS Dr Ir Arman Hakim Nasution Meng, menyatakan bahwa dengan kenaikkan PPN ini, dapat diprediksikan nantinya daya beli masyarakat Indonesia akan menurun drastis,”. Beliau juga mengatakan kemungkinan akan terjadinya inflasi. (its.ac.id, 28/12/2024)


Pajak Sebagai Sumber Utama Pemasukan 

Pajak merupakan salah satu sumber bahkan menjadi sumber utama pemasukan bagi negara yang menerapkan sistem Kapitalisme. Maka tidak heran, kenaikan pajak pun adalah suatu keniscayaan, demikian pula dengan beragamnya jenis pungutan pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.

Padahal, ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan.  Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Negara abai dari menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dalam sistem kapitalisme fungsi negara hanya sebagai fasilitator dan regulator, yang melayani kepentingan para pemilik modal bukan mengurus rakyat.  Rakyat biasa akan terabaikan.  Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat ‘wajib’  sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara.

Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Baik itu kaya maupun miskin, semua dikenai pajak. Meskipun dikatakan bahwa kenaikan PPN hanya mengenai barang dan jasa yang tergolong mewah atau premium, namun mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan bahkan amnesti pajak pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar.  Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat.  Padahal faktanya tidak seperti itu.


Sumber Pemasukan Negara Dalam Perspektif Islam

Berbeda dengan sistem Islam, Pajak bukanlah sumber utama pemasukan negara. Pajak atau dhoribah hanyalah sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam kondisi tertentu yaitu pada saat dana kas negara tidak dapat memenuhi berbagai pembiayaan yang urgen, dan hanya dipungut pada kalangan tertentu yaitu orang-orang kaya saja, dengan besaran yang sesuai kebutuhan. Kemudian penarikan pajak ini sifatnya temporer atau tidak seterusnya. Jika pembiayaan yang dimaksud telah terpenuhi, maka penarikan pajak akan dihentikan.

Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab syakhshiyah Al-Islamiyah juz 2, hal 161 disebutkan bahwa Islam telah memerintahkan agar penguasa memperhatikan rakyatnya, memberikan nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum dan mewajibkannya agar hanya memerintah dengan Islam saja, tanpa yang lain.

Konteks tidak menyentuh harta milik umum bermakna bahwa negara wajib mengelola harta milik umum yaitu sumber daya alam. Apapun alasannya, tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta termasuk dengan alasan investasi. Hasil pengelolaan harta milik umum ini wajib dikembalikan negara kepada rakyat untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka dan juga untuk kebutuhan jihad fi sabilillah.

Selain itu, tidak menyentuh harta milik umum juga dimaknai bahwa pemasukan dan pengeluaran negara yang ditetapkan syara tidak berbasis pajak apalagi utang. Hal ini juga disebutkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fil Daulah Al-Khilafah. 

Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam, diantaranya adalah harta milik umum, harta milik negara dan harta zakat. Begitu juga pos pengeluarannya juga telah ditetapkan oleh syariat yang semuanya bermuara pada kesejahteraan rakyat. Dan dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi islam, khilafah akan mampu menjamin kesehateraan rakyat individu per individu.

Wallahu ‘alam bishowwab.


*) Pegiat Literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.