Header Ads


Cinta Ditolak, Haruskah Nyawa Melayang?

Oleh: Khadijah*)


IndonesiaNeo, OPINI - Akhir-akhir ini berita kriminal berupa kekerasan atau kasus pembunuhan makin sering berseliweran di beranda atau pun di berita-berita media sosial dan televisi. Motif dan  caranya makin beragam dan nan sadis. Pelaku dengan mudahnya melakukan aksinya tanpa berpikir resiko yang akan dihadapi kemudian, nyawa seolah tak lagi berharga. Dari data yang diungkap SImfoni PPA pada bulan Januari 2025 sudah tercatat 2.232 jumlah kasus kekerasan dengan 466 korban laki-laki dan 1.934 korban perempuan.  Angka ini membuat kita mengurut dada.

Salah satu kasus yang terjadi awal tahun ialah kasus pembunuhan seorang remaja putri berusia 16 tahun. Peristiwa tersebut terjadi di sebuah warung kopi perumahan Made Great Resience Kota Lamogan. Berdasarkan hasil penyelidikan, pelaku merupakan teman korban sendiri. Saat ditemukan, korban sudah tidak bernyawa dan dalam kondisi membusuk. Urusan percintaan menjadi alasan pelaku dengan tega menghilangkan nyawa  korban. Cinta ditolak oleh korban dan dengan emosi yang tak terkendali pelaku menghabisi nyawa korban dengan sadis. Sebelum kejadian, pelaku sudah berencana akan membunuh korban jika cintanya ditolak. Setelah kejadian pun, pelaku menunjukkan sikap dan aktivitas seperti biasa (Kompas.com, 17/01/2025). Kasus yang serupa mungkin saja tak terhitung jumlahnya.


Akibat Sistem Kehidupan Sekuler Kapitalistik

Kejadian ini tentu membuat hati miris. Seorang remaja usia sekolah, begitu mudahnya melakukan kekerasan hingga penghilangan nyawa temannya sendiri. Kasus ini mencerminkan adanya pola kekerasan pada perilaku generasi muda saat ini terhadap teman sebayanya. Banyak faktor yang menyebabkan peristiwa terjadi di antaranya lemahnya pengontrolan emosi, kurangnya pendidikan moral, dan pengabaian terhadap kesehatan mental di kalangan remaja. Lingkungan sosial yang kurang baik juga memberikan kontribusi buruk  terhadap kondisi ini.  Demikian juga halnya media seolah menjadi ‘guru’ generasi yang rendah literasi makin menambah buruknya sikap generasi saat ini. Berbagai kondisi yang melingkupi ini adalah buah dari kehidupan yang diatur dengan sistem sekuler kapitalisme. 

Profil generasi saat ini sangat jauh dari gambaran generasi teladan dalam tuntunan Islam, yaitu generasi terbaik atau khairu ummah. Yang ada justru generasi dengan mental yang rusak, pemikiran dangkal, mudah tersinggung, emosional, serta kurang memiliki empati. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, di antaranya:

Yang pertama, kurangnya pendidikan moral yang diajarkan di sekolah. Pendidikan dalam kapitalisme dimaknai sekedar transfer materi pelajaran semata sehingga siswa disibukkan untuk mengejar nilai bagaimana pun caranya. Minimnya keteladanan guru ke siswa menjadikan materi moral dan agama tidak memberikan bekas  mendalam pada perilaku siswa. Pembelajaran hanya sekedar teori saja.

Faktor kedua adalah diabaikannya aspek kesehatan mental di kalangan remaja. Kesehatan mental pada remaja sangat penting untuk membuat remaja mampu beradaptasi dengan perubahan, tekanan hidup  dan membangun hubungan yang sehat. Hanya saja, gangguan mental ini belum mendapat perhatian serius oleh pemerintah. Berdasarkan survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) terdapat 31,9% remaja mengalami gangguan kecemasan pada tahun 2024. Sebanyak 5,5% remaja di Indonesia mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.

Faktor ketiga adalah lingkungan sosial yang tidak mendukung. Banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat secara berulang dan seringkali tidak mampu diselesaikan dengan maksimal, dalam artian tidak diberikan sanksi tegas dan berefek jera terhadap pelaku kekerasan.

Faktor keempat adalah perkembangan media yang pesat termasuk media sosial menjelma sebagai sumber rujukan perilaku remaja. Konten-konten media sosial yang beraroma kekerasan berseliweran di dunia maya dan menjadi idola dan menginspirasi remaja untuk melakukan kekerasan.

Berbagai kondisi yang melingkupi ini adalah buah dari kehidupan yang diatur oleh sekulerisme. Sekulerisme membuat remaja jauh dari agama, sehingga lalai dengan halal dan haram.  Di sisi lain, kapitalisme membuat ukuran kebahagiaan hanya dari materi atau terpenuhinya keinginan seseorang. Sehingga akhirnya tujuan dapat menghalalkan cara, demikian pula emosi dilampiaskan dengan sesuai dengan hawa nafsu. Berbagai persoalan generasi jelas membutuhkan sistem yang mampu memberikan solusi lengkap dan menyeluruh.  Sistem ini adalah sistem Islam.


Islam Menjadi Solusi Kekerasan pada Generasi

Sesungguhnya sistem Islam memandang pendidikan sebagai unsur penting untuk mencetak generasi berkualitas. Pendidikan tidak hanya difokuskan pada aspek akademis, tetapi juga pada membentuk akhlak mulia, mampu mengendalikan diri, dan memiliki pemahaman yang benar terhadap hubungan antar manusia, atau dengan kata lain membentuk kepribadian Islam.

Islam juga mengatur pergaulan antar laki-laki dan perempuan untuk menghindari fitnah dan perilaku yang melampaui batas syariat. Sistem sosial dalam Islam akan menjaga pergaulan laki-laki dan perempuan sesuai dengan tuntunan hukum syariat. Di dalam hadist yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah saw bersabda, 

“Janganlah sekali-kali seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahramnya.” (HR Bukhari).

Islam juga juga mengatur saf (barisan) salat kaum wanita berada di bagian belakang saf salat kaum pria. Wanita terjaga dari aktivitas berdesak-desakan dengan pria di jalan dan pasar. Seorang wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, dengan syarat ketika selesai beraktivitas hendaknya ia segera kembali hidup bersama kaum wanita atau mahramnya. Hubungan kerjasama antara pria dan wanita hanya bersifat umum saja, sehingga interaksi yang bersifat seksual dapat dihindari.

Dengan aturan ini, hubungan remaja laki-laki dan perempuan diarahkan agar tetap dalam batas yang wajar dan hubungan yang merusak moral atau memicu konflik emosional dapat dicegah.  Dukungan penerapan syariat Islam secara menyeluruh dapat mencegah kasus tragis terjadi berulang. Pelajar dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya untuk kebaikan dan amal shalih, sehingga generasi sakit mental, emosian dan rapuh  dapat dihindari. Sebaliknya terbentuk generasi taat syariat dan paham ilmu serta generasi terbaik atau khairu ummah. Wallahu a’lam.[]


*)  Pemerhati Masalah Remaja

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.