Header Ads


Kapitalisasi di Dunia Pendidikan

Oleh: Nurkhafizah


IndonesiaNeo, OPINI - Pendidikan memegang peranan penting dalam membentuk karakter generasi yang berperadaban unggul. Oleh karena itu, sudah seharusnya pendidikan menjadi wadah bagi tumbuh kembang peserta didik sekaligus ruang yang aman bagi mereka. Terlebih lagi, Indonesia mendambakan terwujudnya Generasi Emas pada tahun 2045.

Namun, harapan ini seolah hanya menjadi angan-angan. Realitanya, dunia pendidikan saat ini semakin kehilangan perannya dalam membentuk karakter peserta didik. Mengapa demikian? Salah satu penyebab utamanya adalah maraknya tindakan diskriminatif di lingkungan pendidikan. Kasus perundungan di kalangan siswa semakin sering terjadi, bahkan mirisnya, tindakan tidak etis ini justru dilakukan oleh guru yang seharusnya memiliki hubungan positif dengan murid-muridnya.

Sebagaimana yang dialami oleh seorang siswa kelas VI di sebuah sekolah dasar swasta di Kota Medan, yang dihukum belajar di lantai oleh gurunya karena belum membayar tunggakan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) selama tiga bulan. Hukuman tersebut berlangsung pada 6 hingga 7 Januari 2025 (Kompas.com, 12/01/2025).

Kejadian ini sangat memprihatinkan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi anak-anak justru berubah menjadi lingkungan yang penuh tekanan. Menghukum siswa karena tidak mampu membayar SPP bukanlah solusi, melainkan bentuk penghinaan terhadap hak dasar mereka. Lebih dari itu, sistem pendidikan di negeri ini semakin jauh dari prinsip-prinsip pendidikan yang seharusnya menjamin bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang bermartabat. Namun, dalam sistem yang dianut saat ini, hal tersebut sulit terwujud, sebab akar dari maraknya persoalan perundungan dan ketimpangan pendidikan tidak terlepas dari sistem kapitalisme sekuler yang diadopsi oleh negara.

Dalam sistem ini, pendidikan hanya dipandang sebagai komoditas yang diperjualbelikan, bukan sebagai kebutuhan atau hak rakyat yang harus dipenuhi. Keuntungan materi menjadi pijakan utama dalam menentukan arah pendidikan, sehingga hak-hak rakyat kerap dikesampingkan. Tak heran, negara seolah lepas tangan dalam pengelolaan dan pembiayaan pendidikan. Padahal, kasus seperti hukuman terhadap siswa karena belum membayar SPP tidak akan terjadi jika negara benar-benar mengakomodasi akses pendidikan gratis bagi seluruh rakyat.

Selain itu, kapitalisasi pendidikan melahirkan hubungan antara guru dan murid yang hanya sebatas kepentingan materi, bukan relasi antarsesama manusia yang saling membutuhkan. Akibatnya, rasa empati di lingkungan pendidikan semakin memudar, yang pada akhirnya membuka peluang bagi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral.

Dari sini, dapat kita lihat bahwa tidak mungkin berharap pada sistem yang ada saat ini. Negara hanya berperan sebagai regulator yang membuat aturan, tetapi bukan untuk kemaslahatan umat, melainkan demi kepentingan pihak tertentu. Keuntungan menjadi prioritas utama, sedangkan generasi muda hanya dijadikan sebagai sumber keuntungan ekonomi.

Solusi-solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menangani berbagai permasalahan pendidikan pun sering kali tidak menyentuh akar permasalahan. Akibatnya, persoalan yang ada bukannya terselesaikan, tetapi justru semakin bertambah setiap tahunnya. "Abai" adalah kata yang tepat untuk menggambarkan performa negara saat ini dalam mengurus rakyatnya. Meskipun ada bantuan biaya pendidikan bersubsidi bagi siswa kurang mampu, jumlahnya sangat terbatas dan tampak seperti sekadar formalitas.


Pendidikan dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Islam memandang ilmu ibarat jiwa dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menjadi bagian dari kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dijamin oleh negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

"Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR. Bukhari)

Negara memiliki tanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk pembiayaannya. Kas negara atau baitul mal harus mampu menyediakan akses pendidikan gratis bagi seluruh rakyat, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Sarana dan prasarana pendidikan juga harus dijamin ketersediaannya di seluruh penjuru negeri. Selain itu, negara wajib mengakomodasi pendidikan yang berkualitas agar manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat.

Terkait dengan tindakan tidak etis di lingkungan sekolah, pemerintahan Islam akan menetapkan kebijakan yang mampu menyelesaikan persoalan tersebut secara efektif. Penerapan sistem pendidikan Islam diyakini mampu membentuk pola pikir peserta didik dan tenaga pendidik agar memahami tujuan penciptaannya, yakni menaati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.

Dengan demikian, mereka akan memiliki kesadaran terhadap batasan-batasan yang harus dipatuhi. Hal ini akan menciptakan pola hubungan antara guru dan murid yang saling menghormati dan membutuhkan satu sama lain. Suasana empati pun akan terjalin di antara kedua belah pihak. Adapun sebagai langkah kuratif, negara harus memberikan sanksi tegas kepada tenaga pendidik atau orang dewasa yang melakukan pelanggaran moral. Sanksi tersebut harus memiliki efek jera agar sekolah benar-benar menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi peserta didik.

Hanya dengan terwujudnya sistem pendidikan berbasis Islam, seluruh urusan manusia dapat terselesaikan dengan baik. Sistem pendidikan Islam harus berada dalam kerangka sistem kehidupan yang berlandaskan Al-Qur'an dan Sunah, yang hanya dapat ditegakkan secara kaffah dalam bingkai khilafah.

Wallahu a'lam bish-shawab.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.