Kendari Banjir, Bukan Sekadar Soal Meluapnya Air
Oleh: Ummu Zhafran*)
IndonesiaNeo, OPINI - Bagai tamu tak diundang, banjir datang menyapa kota Kendari. Tak tanggung-tanggung, kali ini puluhan rumah terendam banjir akibat hujan lebat disertai angin dan guntur (tribunsultranews.com, 28-01-2025).
Areal yang terkena banjir pun tak pandang bulu. Setidaknya 11 kelurahan di lima kecamatan yang dilanda banjir. Kelurahan Punggolaka, Lalodati, Tobuha, Mandonga, Korumba, Kadia, Pondambea, Punggaloba, Dapu-dapura dan Anduonohu. Luapan air bahkan terjadi juga di kawasan MTQ ala Malioboro yang belum lama digadang -gadang jadi ikon baru kota Kendari.
Maklum bila publik mulai menganalisis penyebab di balik peristiwa ini. Beberapa faktor dituding jadi pemicu banjir. Antara lain kondisi geografis dan buruknya drainase. Hal ini dinyatakan pula oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sultra (tribunsultranews.com, 30-01-2025).
Faktor lainnya yang tak kalah penting adalah sampah. Belum lama, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Kendari merilis data produksi sampah mencapai 243 ton per harinya. (antaranews.com, 9-1-2025). Artinya potensi tersumbatnya drainase oleh sampah ketika terjadi hujan lebat sangat besar bila persoalan sampah tidak tertangani dengan baik. Tak perlu heran jika bencana banjir jadi kenyataan.
Amboi, dari sini saja dapat terlihat bahwa persoalan banjir bukan sekadar soal meluapnya air ketika hujan turun sangat lebat. Tidak pernah sesimpel itu. Banjir dengan segala sebab yang melatarbelakanginya jelas merupakan masalah kompleks dan sistemis. Dimulai dari perkara perilaku individu yang kurang disiplin membuang sampah pada tempatnya, masyarakat yang minim kepedulian hingga abainya negara melakukan mitigasi dengan maksimal.
Namun tanggung jawab terbesar pastinya ada pada negara. Edukasi dan konsistensi menerapkan sanksi bagi yang melanggar di tengah masyarakat soal perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk bagian dari tugas negara. Juga dalam menetapkan orientasi mitigasi yang selama ini dianut. Apakah dilakukan demi mewujudkan kemaslahatan publik atau justru untuk kepentingan individu maupun swasta, dalam hal ini oligarki.
Sebab dari mencermati realitas yang berlaku selama ini, tampak program demi program pembangunan yang dijalankan semakin lama absen dari keberpihakan terhadap kepentingan publik. Justru lebih banyak berpihak pada pemilik modal maupun para pengusaha. Utamanya tercermin dari proyek sarana maupun prasarana yang beraroma ambisius dan prestisius seperti kawasan wisata Toronipa maupun ‘Malioboro’ ala Kendari.
Akibatnya, lahan yang seharusnya jadi daerah resapan air dan ruang terbuka hijau tak sedikit yang disulap menjadi area perindustrian, perdagangan dan perkantoran. Tujuannya tentu kental dengan motif komersial. Wajar bila kemudian datangnya banjir jadi sukar diantisipasi.
Kembali, duet birokrasi dan korporat menyanyikan kidung sumbangnya. Hal ini pula yang menjadi tabiat alami dari ideologi kapitalisme. Dalam kitab Nizham Islam karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, kapitalisme didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi. Sehingga penerapannya hanya bertumpu pada asas manfaat, semata materi baik berupa pencitraan maupun untung dan rugi.
Butuh Solusi Sistemis
Peliknya masalah bukan berarti tak bisa selesai. Satu hal jelas, bertahan dengan kapitalisme hanya membuat persoalan tak henti berkelindan antara penguasa dan pengusaha saja. Sedang kemaslahatan nyata bagi rakyat jadi nomor ke sekian.
Sangat jauh berbeda andai Islam diambil dan diterapkan. Selain merupakan konsekuensi sebuah iman, Islam juga telah menetapkan penguasa sebagai raa’in (penanggung jawab) bagi setiap individu rakyat, baik tua, muda, kaya, miskin serta muslim maupun bukan.
Rasulullah saw. bersabda,
“Imam/Khalifah itu tak lain laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Maknanya dijelaskan oleh Imam An-Nawawi, bahwasanya tameng, karena dia mencegah musuh menyerang dan menyakiti kaum Muslim. Menjadikannya disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekuatannya.
Mengapa hanya Imâm/Khalîfah yang disebut sebagai perisai? Karena dialah satu-satunya yang bertanggungjawab sebagai perisai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk itu dengan sendirinya Islam menempatkan kemaslahatan seluruh manusia sebagai prioritas yang harus dijamin oleh negara.
Sejarah mencatat di masa kekhilafahan Islam, banjir pernah beberapa kali melanda Baitullah, di Masjidil Haram, Mekah. Saat itu, pemerintah setempat segera memperbaiki sistem drainase di sekitar Baitullah. Perbaikan lain juga dilakukan supaya kewajiban beribadah haji tidak terganggu. Demikianlah tata kota dan peradaban dalam Islam dikelola dengan visi jangka panjang. Arahnya jelas berpihak pada rakyat. Bukan sekedar tren atau pencitraan yang minus manfaat bagi publik.
Hanya saja, mengambil Islam mustahil tanpa menegakkannya secara kafah. Sayangnya, ada yang menganggap hal ini radikal bahkan diberi stigma intoleran. Padahal Allah Swt. begitu menyayangi segenap manusia, makhluk ciptaan-Nya. Tidakkah kita bisa merasakannya lewat setiap nikmat yang kita rasakan? Wallahua’lam.
*) Pegiat literasi
Post a Comment