Header Ads


Legalisasi Miras: Laba dan Dosa Mengalir Deras

Oleh: Ummu Azzura

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kendari bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari berencana meninjau kembali peredaran minuman beralkohol eceran. Hal ini sesuai dengan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang mengungkap bahwa dari 30 penjual minuman beralkohol yang terdata, hanya 10 yang memiliki izin resmi dari Pemkot Kendari.

Selain itu, aduan dari Koordinator Ruang Simpul menegaskan bahwa keberadaan minuman beralkohol telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Tidak sedikit tindak kejahatan yang terjadi di Kota Kendari yang dipicu oleh konsumsi minuman beralkohol. (DetikSultra.com, 21/01/25).

Minuman beralkohol atau yang lebih dikenal dengan miras (minuman keras) memang masih banyak diminati oleh berbagai kalangan, mulai dari remaja hingga orang dewasa. Fenomena ini sungguh miris, tetapi menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Miras sering dianggap sebagai pelampiasan stres dan emosi, sehingga permintaannya tetap tinggi di pasaran. Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang melegalkan peredarannya dengan syarat-syarat tertentu.

Dalam sistem kapitalisme, keuntungan menjadi prioritas utama, bahkan jika harus menghalalkan segala cara. Miras, yang memiliki banyak peminat, menjadi komoditas menggiurkan bagi para pelaku bisnis. Dari sinilah keuntungan besar mengalir, baik bagi pengusaha maupun pemerintah yang menarik pajak dari industri ini. Miras bahkan dianggap memiliki kontribusi dalam perekonomian, meskipun dampak negatifnya terhadap masyarakat sangat jelas.

Sistem kapitalisme lahir dari paham sekularisme, yaitu ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, agama tidak dijadikan pedoman dalam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal perundang-undangan. Artinya, manusia diberi kebebasan untuk membuat aturannya sendiri, termasuk melegalkan sesuatu yang telah jelas dilarang oleh agama, seperti minuman beralkohol. Padahal, jika kita menilai secara objektif, miras tidak memberikan manfaat yang berarti. Sebaliknya, konsumsi miras justru menimbulkan berbagai dampak negatif, baik bagi kesehatan, mental, maupun kehidupan sosial.

Terlebih lagi, dalam Islam, hukum mengenai minuman beralkohol telah sangat jelas: haram. Tidak hanya dalam hal konsumsi, tetapi juga produksi dan perdagangannya dilarang secara mutlak. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia, khususnya Kota Kendari yang dikenal dengan slogan "Kendari Bertakwa," seharusnya menolak legalisasi minuman beralkohol. Bertakwa berarti menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Melegalkan peredaran miras bertentangan dengan nilai ketakwaan tersebut dan merupakan bentuk pembangkangan terhadap hukum Allah.

Dalam Al-Qur’an, Allah dengan tegas melarang konsumsi minuman beralkohol, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-Mā'idah ayat 90:

"Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung."

Pendapatan negara tidak seharusnya diperoleh dari sesuatu yang diharamkan. Dalam sistem ekonomi Islam, sumber pendapatan negara telah diatur dengan jelas, yaitu berasal dari kepemilikan umum, zakat, dan sumber-sumber halal lainnya. Melegalkan perdagangan miras sama saja dengan menantang hukum Allah dan mengundang azab-Nya. Maka, sudah seharusnya kita kembali kepada aturan Allah, karena hanya aturan-Nya yang mampu membawa kebaikan bagi umat manusia.

Wallāhu a'lam.

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.