Header Ads


Korupsi Makin Ngeri di Negeri Demokrasi

 

Oleh: Cahaya Dwi Bunga

Korupsi di Indonesia seolah telah menjadi tradisi yang terus berulang setiap tahun dan semakin meluas ke berbagai sektor, mulai dari pendidikan, pemerintahan, hingga dunia usaha. Dalam sektor pendidikan, misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa sejak tahun 2016 hingga 2021, terdapat 240 kasus korupsi pendidikan dengan total kerugian negara mencapai Rp1,6 triliun (detikNews, 22/11/21).

Kasus terbaru yang mengejutkan publik adalah korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di SMPN 9 Ambon. Seorang kepala sekolah dan bendahara diduga menggelapkan dana hingga Rp1,8 miliar dalam kurun waktu 2020–2023 (Kompas.com, 28/02/25).

Tidak hanya di dunia pendidikan, sektor pemerintahan dan usaha juga tidak luput dari kasus korupsi. Saat ini, publik dikejutkan dengan kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah serta produk kilang Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp300 triliun (Kompas.com). Selain itu, berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi seperti gubernur, menteri, dan kepala daerah semakin menambah panjang daftar kejahatan yang merampas hak rakyat.

Harapan Semu dalam Demokrasi

Korupsi yang terus terjadi sejak lama tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan. Demokrasi, yang sering diklaim sebagai sistem yang berpihak pada rakyat, justru menjadi sarana bagi para elite untuk menipu, mencurangi, dan mengeksploitasi rakyat demi kepentingan pribadi dan golongan.

Setiap pergantian pemimpin selalu diiringi dengan janji manis untuk memberantas korupsi, tetapi realitanya tidak ada perubahan berarti. Berbagai upaya seperti pembentukan lembaga antikorupsi dan penerapan hukum tetap tidak efektif. Bahkan, banyak koruptor yang hanya dijatuhi hukuman ringan, mendapat remisi, serta fasilitas istimewa di dalam penjara.

Korupsi dalam sistem demokrasi kapitalis sulit diberantas karena sistem ini menuntut biaya politik yang sangat besar. Para calon pejabat harus mengeluarkan dana ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk kampanye. Akibatnya, setelah terpilih, mereka cenderung mencari cara untuk mengembalikan modal politik, termasuk melalui praktik korupsi. Ditambah lagi, sistem sekuler membuat para pemimpin abai terhadap nilai-nilai moral dan agama, sehingga tidak lagi mempertimbangkan halal dan haram dalam tindakannya.

Sistem Islam sebagai Solusi Hakiki

Untuk memberantas korupsi secara fundamental, diperlukan sistem yang menjunjung tinggi ketakwaan dan integritas, yaitu sistem Islam kaffah. Islam menetapkan bahwa pemimpin adalah raa’in (pengurus urusan rakyat) dan mas’ul (bertanggung jawab di hadapan Allah). Dalam sistem Islam, hanya mereka yang memiliki ketakwaan dan kompetensi yang berhak memimpin, sehingga potensi penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalkan.

Sistem kepemimpinan dalam Islam tidak memerlukan biaya politik besar karena pemilihan pemimpin didasarkan pada kualitas dan amanah, bukan popularitas atau dukungan finansial. Selain itu, kepemimpinan tidak bersifat periodik seperti dalam demokrasi, tetapi dipantau dan diaudit oleh khalifah, yang bertanggung jawab langsung kepada Allah dan rakyatnya.

Islam juga menetapkan hukum yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Sanksi berat diterapkan tanpa pandang bulu, sehingga keadilan benar-benar ditegakkan. Selain itu, masyarakat dalam sistem Islam memiliki kesadaran tinggi untuk mengontrol pemerintah agar tetap menjalankan amanah sesuai dengan syariat Allah.

Maka, sudah saatnya kita melakukan perubahan sistemik menuju penerapan Islam kaffah, bukan sekadar pergantian rezim dalam sistem yang rusak dan merusak.

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.