Header Ads


Ramainya Industri dalam Kolaps: Imbas Kebijakan Serampangan!

Oleh: Cahaya Chems

(Pegiat Literasi)

Dunia industri dalam negeri tengah menghadapi krisis. Gelombang kebangkrutan yang melanda berbagai sektor telah meninggalkan dampak yang luas. Beberapa perusahaan besar seperti RII, PT Sanken, PT Danbi Internasional, dan yang terbaru, PT Sritex, mengalami nasib serupa dengan harus merumahkan puluhan ribu karyawan setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang pada 21 Oktober lalu (BBC News Indonesia, 28/02/2025).

Kebijakan Serampangan: Akar Masalah Industri

Fenomena ini tidak bisa dianggap sebagai siklus ekonomi biasa. Meskipun setiap industri memiliki fase kejayaan dan kemunduran, kebangkrutan massal ini menunjukkan adanya faktor yang lebih mendalam. Salah satunya adalah absennya peran negara dalam menyokong industri dalam negeri. Ironisnya, alih-alih melindungi industri lokal, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang semakin memudahkan arus impor di tengah banyaknya perusahaan yang mengalami kesulitan. Hal ini semakin diperparah dengan kebijakan efisiensi anggaran yang mengurangi stimulus bagi industri nasional.

Akibatnya, banyak pekerja kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Dalam situasi ini, kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok semakin menambah beban hidup para buruh yang kehilangan mata pencaharian.

Apakah ini hanya awal dari gelombang PHK yang lebih besar? Jika kebijakan yang ada tidak diperbaiki, bukan tidak mungkin akan terjadi gelombang penutupan pabrik lainnya. Dalam laporan awal Januari 2025 saja, sudah ada sembilan perusahaan yang menutup pabriknya. Kondisi ini menandakan situasi darurat PHK yang berpotensi terus berlanjut.

Dampak Kebijakan yang Tidak Berpihak pada Rakyat

Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat telah menimbulkan kesengsaraan di berbagai sektor. Dalam seratus hari pertama pemerintahan, harapan akan perbaikan kesejahteraan masyarakat justru berbalik menjadi ketidakpastian dan kesulitan ekonomi. Survei mengenai kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah hanyalah angka di atas kertas, sementara realitas di lapangan berbicara sebaliknya. Biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal, menjauh dari jangkauan masyarakat. Lebih buruk lagi, pemberantasan korupsi yang menjadi harapan rakyat justru menuai ketidakpuasan.

Pemerintah semestinya bertindak cepat dalam menyelesaikan persoalan ini. Evaluasi kebijakan yang telah ada harus dilakukan secara menyeluruh untuk memastikan regulasi yang berpihak kepada rakyat dan industri dalam negeri. Jika tidak ada perbaikan, bukan tidak mungkin krisis moneter seperti tahun 1998 akan terulang, bahkan lebih parah.

Liberalisasi Ekonomi dan Dampaknya

Penyebab utama dari krisis ini adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang berprinsip pada liberalisasi ekonomi. Melalui regulasi dan kebijakan yang mempermudah investasi asing serta membuka keran impor secara besar-besaran, negara lain yang memiliki modal besar dapat dengan mudah mendominasi pasar. Akibatnya, industri dalam negeri tidak mampu bersaing dan terpaksa gulung tikar.

Contohnya adalah PT Sritex, perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, yang harus melakukan PHK massal. Ada indikasi bahwa kebangkrutan PT Sritex disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang memberi kemudahan bagi masuknya produk asing, terutama dari China, melalui skema ACFTA dan Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada korporasi besar daripada melindungi industri lokal.

Di sisi lain, liberalisasi ekonomi juga menyebabkan ketergantungan pekerja pada industri swasta. Ketika industri mengalami kebangkrutan, negara tidak bisa berbuat banyak untuk menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi para buruh yang terkena dampaknya.

Sistem Islam: Solusi bagi Pekerja dan Pengusaha

Dalam sistem Islam, nasib pekerja tidak akan seburuk ini. Islam memiliki mekanisme yang jelas dalam mengatur industri dan penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya. Prinsip ra’in (pengurus rakyat) yang harus dimiliki seorang pemimpin menjadikan tanggung jawab pemimpin sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan rakyat. Rasulullah ï·º bersabda:

"Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari dan Ahmad)

Dalam sistem Islam, negara tidak akan berlepas tangan dalam memastikan industri tetap berjalan. Negara bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam agar tidak jatuh ke tangan swasta. Dengan begitu, industri dapat tumbuh dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Selain itu, sistem Islam juga mengembangkan sektor pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Negara akan memberikan modal, pelatihan keterampilan, serta infrastruktur yang mendukung berkembangnya usaha rakyat. Dengan begitu, kondisi yang kondusif bagi tenaga kerja dan pengusaha dapat terwujud.

Dalam negara Islam, kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama. Pendidikan dan kesehatan diberikan secara gratis, transportasi dibuat terjangkau, serta akses terhadap kebutuhan pokok seperti air, listrik, dan BBM dijaga agar tetap terjangkau. Dengan demikian, gaji pekerja tidak habis hanya untuk bertahan hidup, tetapi dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Jika kebijakan berbasis Islam diterapkan, maka kesejahteraan rakyat akan lebih terjamin. Industri dalam negeri dapat berkembang tanpa harus bergantung pada modal asing, dan pekerja tidak lagi menjadi korban dari kebijakan ekonomi yang serampangan. Wallahu’alam.

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.