Sigap, Menggenjot Pajak di Daerah Surganya Tambang?
Oleh: Ummu Zhafran*)
IndonesiaNeo, OPINI - Baru-baru ini layanan baru pembayaran pajak diluncurkan. Mengutip dari laman kendariinfo, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sultra meluncurkan Sigap, aplikasi Mobile Bapenda, Pembayaran QRIS, Virtual Account dan Samsat Drive Thru (kendariinfo.com, 5/3/2025).
Keseluruhannya tak lain guna lebih memudahkan masyarakat dalam membayar pajak dengan memanfaatkan teknologi digital. Melalui aplikasi tersebut, para wajib pajak akan segera mengetahui status pajak, serta berapa jumlah yang harus dibayar.
Mengapa Sigap? Masih dari sumber berita yang sama diperoleh data bahwa dari total 860.479 unit kendaraan bermotor di Sultra, baru 321.837 unit atau hanya berkisar 37,40 persen yang patuh membayarkan pajak pada tahun 2024 lalu. Dengan layanan ini tentu diharapkan pendapatan dari pajak bisa meningkat.
Sudah tentu hadirnya Sigap layak diapresiasi. Tapi tetap saja poin kritisnya ada pada ambisi menggenjot pajak dari wilayah yang belakangan dikenal sebagai surganya barang tambang, utamanya nikel. Dari data BPS 2020, produksi nikel di Sulawesi Tenggara tembus di angka 22.531.686 ton. Jika dihitung dengan harga nikel di kisaran 16.405,00 USD/ton, maka jangan kaget bila hasilnya 369.632.308.830 dolar!
Seketika terbayang andai hasil yang besarnya fantastis itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, tentu seluruh penjuru negeri bisa mengucapkan selamat tinggal pada pajak. Bukan hanya publik Sulawesi Tenggara saja. Terlebih nominal di atas baru dari hasil tambang nikel, belum termasuk emas, batu bara, minyak bumi, gas alam dan masih banyak lagi kekayaan alam Ibu Pertiwi.
Namun apa daya, jalan ceritanya tak seindah itu. Akibat tata kelola sumber daya yang bercorak kapitalistik, ratusan triliun rupiah yang harusnya diperoleh dari kelola tambang berlabuh entah di mana. Sukar ditemukan wujudnya. Karena pengelolaan diserahkan pada korporat swasta alias oligarki, bukan dikelola langsung oleh negara.
Ironisnya lagi, justru pajak yang dijadikan tumpuan. Menurut Wikipedia, pajak merupakan instrumen penting dalam negara yang menerapkan kapitalisme. Semua kebutuhan konon akan terpenuhi dari pajak, mulai infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Benarkah realitasnya demikian? Silakan dijawab sendiri.
Lebih jauh lagi, cendekiawan muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) pernah menyinggung potensi negeri ini yang bisa mendapatkan Rp2.500 triliun hanya dari sektor tambang batu bara saja, tanpa pajak. Sehingga tanpa pajak pun negeri ini sebenarnya bisa memiliki APBN yang lebih dari cukup. (mediaumat.com, 14-12-2024)
Sayang seribu sayang, lagi-lagi dikarenakan sistem ekonomi kapitalis, alih-alih secara langsung mengelola tambang, justru pajak yang dipandang sebagai sumber utama pendapatan negara. Tak terkecuali di bumi anoa ini. Terbukti dari struktur penerimaan APBD Sultra, pajak daerah menempati posisi teratas, sekitar 1.139.209.000,50 miliar rupiah. (bps.go.id, 2023)
Miris, inilah gambaran penerapan pajak dalam sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat. Ini tidak lepas dari posisi penguasa dalam kapitalisme yang berposisi sebagai regulator.
Sungguh berbeda dengan pengaturan dalam Islam.
Islam yang dibawa Rasulullah saw. menetapkan penguasa di daerah hingga pusat berposisi sebagai ra’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw., “Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Negara di bawah payung penerapan Islam kafah menjalankan politik ekonomi yaitu memenuhi kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) tiap individu dan mewujudkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier).
Negara dalam Islam bertugas menjamin penerapan ekonomi Islam di bidang industri, pertanian, dan perdagangan sehingga mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Dengan demikian, rakyat laki-laki dewasa bisa bekerja untuk menafkahi keluarganya sehingga mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan dengan layak.
Adapun pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan negara secara gratis dan berkualitas sehingga semua rakyat bisa menikmatinya tanpa biaya. Negara juga menyediakan fasilitas publik seperti transportasi, bahan bakar minyak, listrik, gas, dan lainnya dengan murah bahkan gratis sehingga rakyat mudah mengaksesnya.
Merujuk kitab Al Amwal fi Dawlah karya Syekh Abdul Qadim Zalim, pemasukan berasal dari tiga bagian, yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan zakat.
Bagian fai dan kharaj terdiri dari seksi ganimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan dharibah.
Bagian kepemilikan umum terdiri dari seksi migas; listrik; pertambangan; laut, sungai, perairan, dan mata air; hutan dan padang rumput; serta aset yang diproteksi negara.
Bagian zakat terdiri dari zakat uang dan perdagangan; zakat pertanian dan buah-buahan; serta zakat ternak sapi, unta, dan kambing.
Memang terdapat salah satu pemasukan negara yang disebut pajak (dharibah), tetapi penerapannya jauh berbeda dengan pajak dalam kapitalisme.
Pajak dalam Islam hanya dipungut ketika kas negara kosong, sedangkan pada saat yang sama ada kebutuhan rakyat yang harus dipenuhi. Kebutuhan yang dipenuhi dengan memungut pajak adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi, akan menyebabkan terjadinya dharar, sedangkan dharar harus dihilangkan. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan saling membahayakan.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Maka pajak tidak dipungut terus-menerus atau tahunan. Ketika kebutuhan sudah tercukupi, pemungutan pajak dihentikan.
Selain itu, pajak di dalam sistem Islam hanya dipungut dari laki-laki muslim yang kaya saja, sedang perempuan, anak-anak, orang miskin, dan non muslim tidak dipungut pajak. Masya Allah. Wallahualam bissawab.
*) Pegiat Literasi
Post a Comment